JAKARTA - Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Provinsi Banten (AMPB) mendatangi kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, Rabu (31/1/2024).
Mereka melaporkan dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) yang menunjukan "Pose 2 jari" dari mobil RI-1.
Koordinator AMPB Shandi Martha Praja menjelaskan, dalam Pasal 10 UU Pemilu jelas mengatur Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden membentuk Pelaksana Kampanye. Sementara Jokowi tidak termasuk sebagai Tim Pemenangan Nasional Prabowo Gibran yang terdaftar di KPU.
“Perbuatan Presiden Joko Widodo dengan menggunakan fasilitas negara berupa Mobil Kepresidenan dan iring-iringan Kepresidenan menunjukkan Pak Presiden Joko Widodo bukanlah Tim Pemenangan Nasional Prabowo-Gibran adalah Pelanggaran Pidana Undang-Undang Pemilu mengingat Presiden Joko Widodo sampai hari ini 31 Januari belum mengajukan cuti untuk melakukan kampanye,” tegasnya.
Sebagai seorang Presiden, lanjut dia, Jokowi seharusnya paham tentang UU Pemilu pada Pasal 281 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang jelas menyebutkan bahwa Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubenur, wakil gubenur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi sejumlah ketentuan. Misalnya, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Juga menjalani cuti di luar tanggungan negara; Cuti dan jadwal cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah,” kata Shandi merincikan.
Oleh karenanya, lanjut dia, AMPB meminta Bawaslu RI untuk memanggil dan melakukan pemeriksaan terhadap Presiden Joko Widodo. Juga meminta Bawaslu untuk menyidangkan laporan AMPB secara terbuka untuk umum.
“Terlapor Presiden Joko Widodo melakukan pelanggaran Pasal 547 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mengatur bahwa setiap pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan, atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta dalam masa kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp.36.000.000,” demikian Shandi.