JAKARTA - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menggelar pembekalan bersama komunitas mitra binaan untuk mendorong Merdeka Belajar menjadi Gerakan Bersama masyarakat.
Pelatihan tersebut diikuti oleh 30 anggota komunitas yang berasal dari komunitas orang tua, guru, pelajar, dan mahasiswa yang diwakili oleh komunitas Kami Pengajar, Sidina Community, dan Pemuda Pelajar Merdeka.
Diselenggarakan di Jakarta, Jumat (1/3), kegiatan pembekalan ini diawali dengan dialog bersama Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP), Kemendikbudristek, Anindito Aditomo sebagai narasumber.
Saat dialog berlangsung, salah satu anggota komunitas Kami Pengajar, Budi Utomo, menuturkan bahwa kehadiran Kurikulum Merdeka mendapat respons yang baik dari orang tua siswa.
“Mereka merasa anaknya ‘diorangkan’, semacam ada kesetaraan. Jadi anak tidak harus pintar di bidang akademik, tetapi (bisa juga) pintar di bidang yang menjadi minat dan bakatnya,” katanya.
Menanggapi pernyataan tersebut, Anindito menjelaskan bahwa esensi dari kebijakan Merdeka Belajar adalah memastikan bahwa semua murid di Indonesia bisa mendapatkan pengalaman belajar yang membuat mereka mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Dia menyatakan bahwa salah satu makna Merdeka Belajar adalah menciptakan manusia-manusia merdeka, yang dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah mereka mampu bertindak dan berpikir secara mandiri.
Anindito menambahkan bahwa mereka punya cita, rasa, karsa yang kuat, sehingga mereka bisa menjadi manusia mandiri.
Selanjutnya, ia mengemukakan bahwa perbaikan-perbaikan terhadap sistem pendidikan yang ada selama ini melalui kebijakan Merdeka Belajar dilakukan agar pengalaman belajar di sekolah bertransformasi.
Menurutnya, sekolah menjadi tempat yang menghargai anak secara lebih utuh, menggali bakat-bakat anak sehingga semua anak merasa bahwa dirinya pandai, senang belajar, dan mau belajar tanpa adanya paksaan.
Anindito juga menyinggung terkait penilaian kinerja guru melalui e-kinerja yang sempat ditanyakan salah satu anggota komunitas dalam dialog tersebut.
Ia menjelaskan, dengan adanya perubahan dalam sistem penilaian, guru sebenarnya diberikan kesempatan untuk merefleksikan metode pengajarannya di kelas.
"Mereka dapat menentukan area mana yang perlu diperbaiki, apakah itu dalam penyusunan soal, kemampuan memberikan umpan balik kepada murid, atau dalam membentuk kesepakatan dengan murid. Langkah pertama adalah mengidentifikasi hal apa yang ingin diperbaiki oleh guru,” ujarnya.
Anindito menambahkan bahwa setelah melakukan refleksi, guru dapat mengikuti pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan perbaikan atau peningkatan kemampuannya.
“Selanjutnya, guru dan kepala sekolah dapat berproses bersama, berdiskusi mengenai penerapan hasil pelatihan tersebut di kelas. Mereka dapat mengevaluasi apakah implementasi sudah baik atau masih ada kekurangan," jelasnya.
Hal-hal ini, kata Anindito, kemudian dilaporkan pada akhir semester: proses refleksi, komitmen, perbaikan satu aspek, mengikuti pelatihan, dan melakukan refleksi bersama dengan guru lain.