JAKARTA - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebut hasil Asesmen Nasional dengan metode sampling, menggambarkan kondisi siswa di sekolah dan atau sebagai potret kualitas pendidikan.
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Nasional (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, menilai pengukuran dengan metode sampling di Asesmen Nasional juga sama seperti yang dilakukan lembaga-lembaga survei menjelang Pemilihan Umum.
Untuk memprediksi 80 juta pemilih di Indonesia, kata Anindito, lembaga survei hanya perlu menyuplik 1.200-an responden. Bandingkan dengan sekolah yang jumlahnya lebih sedikit dibanding angka tersebut. Misalnya ada 1.000 siswa, diwakili dengan 30 orang, itu cukup.
"Dalam Asesmen Nasional, sampel itu menggambarkan populasi,” kata Anindito dalam pembekalan Merdeka Belajar menjadi Gerakan Bersama masyarakat, Jumat (1/3).
Anindito menambahkan, Asesmen Nasional adalah alat untuk bercermin bagi seluruh warga sekolah untuk mementingkan hal-hal yang sama, seperti mencegah perundungan, menghindari diskriminasi, membuat pembelajaran menyenangkan, dan memastikan pengajaran wajib mencakup literasi dan numerasi dasar.
"Hal-hal ini perlu menjadi prioritas karena itulah yang dinilai dalam Asesmen Nasional," ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa semua ini berhubungan dengan konsep Merdeka Belajar. Anindito menyatakan, untuk mencapai hasil yang baik dalam Asesmen Nasional, langkahnya adalah menerapkan Kurikulum Merdeka dengan baik.
Dia menekankan bahwa untuk menerapkan Kurikulum Merdeka dengan baik, penting untuk mengikuti pelatihan di Platform Merdeka Mengajar (PMM) dan menggunakan rapor pendidikan untuk memantau perkembangan dari tahun ke tahun.
“Ini semua bukan merupakan kebijakan terpisah, melainkan merupakan kebijakan holistik yang saling berkaitan satu dengan yang lain untuk mencapai satu tujuan yaitu agar anak-anak kita bisa belajar dengan lebih baik,” pungkasnya.