YOGYAKARTA, JURNAS.COM - Demi mengejar dan bisa menikmati bonus demografi, pejuang stunting tetap semangat mengedukasi warga agar generasi penerus yang lahir tidak stunting.
Status Indonesia sebagai negara penyumbang stunting terbesar nomor empat di dunia tentu menggelisahkan. Segala upaya untuk menurunkan angka stunting tidak berhenti pada kebijakan. Harus ada garda terdepan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat agar penurunan stunting tak sebatas angka biru di grafik laporan.
Daerah istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki banyak julukan indah. Sebagai kota pelajar, kota budaya, kota gudeg, kota seni, kota batik dunia, dan belasan sebutan lainnyaSemuanya sangat terasa positif.Di balik keindahan kota pariwisata dengan keriuhan pelancong berlalu-lalang di ruas jalan Kota Yogyakarta, dan merapalkan mantra "Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan", ada sekelumit kisah miris tentang berlikunya mewujudkan generasi bangsa Indonesia yang bebas stunting.Sejatinya, saat ini Indonesia diuntungkan dengan bonus demografi karena penurunan fertilitas.Bonus demografi yaitu fenomena dimana struktur penduduk sangat menguntungkan dari sisi pembangunan karena jumlah penduduk usia produktif sangat besar, sedang proporsi usia muda sudah semakin kecil dan proposi usia lanjut belum banyak.Berdasarkan data BPS Proyeksi Penduduk 2020-2050, jumlah penduduk usia produktif akan terus meningkat dan pada 2025 diperkirakan mencapai 197,13 juta orang.Pada 2030 penduduk usia produktif Indonesia diprediksi sudah mencapai 203 juta orang."Kita telah, sedang, dan masih akan menikmati bonus demografi. Tapi apa gunanya bonus demografi kalau anak-anak yang diharapkan menjadi generasi penerus menderita stunting," ujar Dr Hasto Wardoyo Sp OG(K) saat Media Gathering BKKBN dan jurnalis media massa bertema "Strategi Indonesia Turunkan Stunting" pada 7-9 Maret 2024, di Hotel Kimaya, Yogyakarta.Berdasarkan target RPJMN 2020-2024, seharusnya angka stunting di tahun 2022 adalah 18,4 juta. Tetapi realisasinya masih di kisaran 21,6 juta. Butuh usaha ekstra keras agar di akhir 2024 penurunannya mencapai 14 persen.Di sinilah peran Tim Pendamping Keluarga (TPK) berupaya merealisasikan target tersebut.Berdasarkan data BKKBN, Proporsi Balita Pendek 2007-2013, DIY (di bawah 30,0) masih di bawah rata-rata angka nasional (37,2). Kendati demikian bukan berarti TPK bisa bersantai dengan data tersebut.Data mudah ditulis tapi mewujudkan angka riil di tengah masyarakat agar "enak dibaca", sulitnya bukan main.Seperti yang diungkapkan tiga wanita tangguh yang menjadi narasumber yaitu Bidan Dewi Krismayanti; Kader KB Patricia Sri Maryanti; dan anggota PKK Swasti Prana Wijayawati Santoso dalam talkshow "Strategi Indonesia Turunkan Stunting". Mereka berasal dari TPK Kelurahan Pringgokusuman, Gedong Tengen, Yogyakarta.Dipandu moderator Tenaga Ahli Kehumasan BKKBN Dr dr Riyo Kristian Utomo MH Kes CMH Cht, Patricia menuturkan, TPK adalah level paling bawah yang bersinggungan dengan masyarakat."Program dari Pemerintah dalam hal ini BKKBN, dukungan CSR dari berbagai pihak itu bagus. Harapannya adalah jumlah anak stunting turun bisa terwujud. Hanya saja sulit sekali ketika menerapkannya di tingkat masyarakat," tutur Patricia.Terbiasa Makan Junk FoodSatu di antara penyebab anak stunting adalah tidak terpenuhinya asupan gizi dalam jangka panjang sehingga tumbuh kembang anak menjadi tidak maksimal. Ditandai dengan tinggi badan anak di bawah standar kurva pertumbuhan yang seharusnya.Soal makanan bergizi menjadi tantangan berat.Patricia mencontohkan, orangtua yang bekerja menyerahkan pengasuhan kepada kakek neneknya. "Biasanya kakek nenek yang penting cucunya diam, jadi anak mau makan apa dikasih saja, padahal yang diberi bukan makanan bergizi," kata Patricia.Senada, Dewi mengatakan, anak terbiasa makan junk food sehingga ketika diberi sayur tidak mau."Ketika kami melakukan penyuluhan, orangtua malah merasa lebih pintar dan mengerti," kata Dewi. Namun kenyataannya, sang anak malah stunting.Selain masalah gizi, keberadaan anak stunting di tengah kota membuat prihatin.Saat diminta menjadi anggota TPK, Swasti mengaku syok. Sebelumnya Swasti tak menyangka jika di tengah Kota Yogyakarta banyak terdapat anak-anak stunting."Ini di tengah kota tapi ada kondisi seperti ini, bagaimana di daerah pelosok sana?" ujar Swasti.Begitu sudah tercebur aktif menjadi TPK, mata hatinya terbuka lebar. Kenyataannya lebih parah sehingga Swasti dan teman-teman di TPK merasa harus bekerja keras agar baduta (bayi berusia di bawah dua tahun) dan balita (bayi berusia di bawah lima tahun) di wilayahnya tidak lagi stunting.Anak Baru Lulus SD HamilFakta mencengangkan ditemukan Swasti, di wilayah dekat tempat tinggalnya terdapat seorang murid yang baru lulus SD sudah hamil. "Saya tidak menyangka karena cukup kenal," ungkapnya.Dewi juga menemukan kasus serupa. Siswi SMP sudah punya bayi. "Saat kami berkunjung, bayinya dikasih ke kami dan ibunya malah asyik main game Mobile Legend," tutur Dewi merasa miris.Menanggapi hal tersebut, dr Riyo menyebutkan satu di antara penyebab stunting adalah pernikahan usia anak (dini). Butuh pendekatan yang mengena melalui sisi biologis, dilakukan dengan mengedukasi masyarakat mengenai kesiapan mental, psikologis, dan fisik sebelum menikah.Pada pernikahan usia dini, tentu hal ini belum terbentuk secara optimal, sehingga berisiko tinggi melahirkan anak stunting, bahkan `janda usia anak`."Ini adalah gambaran belum adanya kesiapan mental remaja menjadi seorang ibu," kata dr Riyo. Idealnya, usia menikah untuk perempuan adalah 21 tahun dan laki-laki 25 tahun.Tingginya Kasus Anemia pada RemajaTingginya kasus anemia pada remaja di Yogyakarta juga merupakan sebuah PR lain dari upaya penurunan stunting.Menurut dr Riyo, ketika HB perempuan turun, maka nutrisi yang dibutuhkan dalam tumbuh kembang janin ibu yang anemia akan sangat kurang tercukupi sehingga bayi lahir kerdil.Soal ini Patricia mengaku, calon pengantin atau perempuan yang tengah program hamil tidak mau mengonsumsi obat penambah darah. "Sulit sekali meski kita sudah memberikan obat tersebut tapi malah tidak diminum," kata Patricia.Air Minum Tercemar Bakteri E.coliMasalah stunting di Kelurahan Pringgokusuman juga disumbang dari air minum yang mengandung bakteri escherichia coli atau E.coli.Menurut Patricia, empat anak stunting di wilayah Kelurahan Pringgokusuman mengonsumsi air mengandung bakteri E.coli.Hal ini diketahui usai petugas puskesmas memeriksa air yang dikonsumsi anak berusia di bawah dua tahun pengidap stunting."Kalau yang airnya diperiksa memang yang menjadi sasaran stunting. Tetapi, hampir keseluruhan di wilayah Kelurahan Pringgokusuman memang airnya kotor, tercemar bakteri E.coli karena sudah ada pemeriksaan dari puskesmas," ujar Patricia.Dashat dan Dulur PentingLantas dengan begitu banyaknya masalah, upaya apa yang bisa memberikan angin segar demi terwujudnya penurunan jumlah anak stunting?Dewi menuturkan ada program Dashat yaitu Dapur Sehat Atasi Stunting. Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah stunting dengan cara mengajarkan pola memasak yang baik agar vitamin dan gizi pada makanan yang dikonsumsi tetap terjaga gizinya dan menjadikan pola hidup sehat."Setelah mengikuti kegiatan ini, peserta diharapkan lebih memahami arti hidup sehat, cara memasak yang baik, dan bagaimana menjaga sanitasi lingkungan sekitar," tutur Dewi.Sementara untuk program Dulur Penting yaitu Donasi Telur Peduli Stunting, TPK berkolaborasi dengan perusahaan melalui program CSR."Dari sumber dana tersebut, dapat diberikan bantuan makanan bagi para keluarga baduta risiko tinggi stunting," kata Patricia.Terwujudnya penurunan stunting tentu tak bisa hanya sebatas program. "Sebagus apapun program apabila masyarakat belum memiliki kesadaran, semua hal itu akan sia-sia," tambah Patricia.Kendati sulit, bukan berarti tak bisa. Para pejuang stunting ini mengaku tetap bersemangat mengedukasi masyarakat, berdamai dengan hambatan yang ada, dan tetap melayani dengan hati.Mengutip ucapan Swasti yang prihatin tapi tetap optimistis, "Bersatu kita teguh, bertiga kita tangguh!" (*)