JAKARTA - Dalam studi terorisme untuk profiling kelompok ekstrem biasanya melihat tiga hal sebagai faktor pendorong mereka, yakni Naratif, Need, dan Network atau dikenal 3N theories.
Demikian disampaikan Dr. phil. Suratno Muchoeri Direktur The Lead Institute Universitas Paramadina dalam webinar "Inspirasi Taqorrub-Ilalloh Lewat Kisah Perjalanan-Spiritual Para Tokoh: Edisi Mantan Ekstrimis" yang digelar Universitas Paramadina secara daring di Jakarta, Jumat (15/3/2024).
Suratno mencoba menjelaskan bagaimana seseorang terpapar ekstremisme “Pertama tentang naratif, semua kelompok ekstrem Islam pasti alasannya jihad. Misalnya dalam kasus Kang MT (Matahari Timoer), narasi yang dominan dalam kelompok NII misalnya minazzulumat ila nur, kenapa? Karena NII menganggap NKRI thogut, negara tidak berdasarkan Islam,” katanya melalui keterangan tertulis yang diterima katakini.com di Jakarta, Minggu (17/3/2024).
“Kedua, need atau motif, biasanya adalah kebutuhan fisik dan psikis. Kalau fisik biasanya lingkungan, makanya biasanya anak muda yang kurang pergaulan dia mudah masuk karena mereka butuh lingkungan. Kemudian psikis, yang berhubungan dengan kedamaian. Kang MT dulu pernah di jalanan, berkelahi dengan kehidupan yang keras sehingga orang butuh kedamaian secara spiritual,” tambah Suratno.
Masih menurut Suratno kadang dikarenakan ada faktor kemiskinan juga. “Kalau miskin, kadang merasa gagal hidupnya, jika merasa gagal solusinya akhirnya kelompok ekstremis memberikan penawar kebahagiaan. Bahkan pada kelompok ekstrem seperti JI jadi pengantin.”
“Kemudian, network, Kang MT masuk ke NII sebagai network utama. Setelah hidup di jalanan, hampa spiritual, masuk ke masjid. Pada 1990 an, kelompok seperti NII memang adalah kelompok bawah tanah karena dikejar rezim Soeharto yang dianggap subversif. Recruiternya ke masjid, tanpa sengaja ketemulah di satu masjid, jadi networknya adalah melalui masjid,” terangnya.
Masalahnya, lanjut Suratno, kenapa ada ekstremis taubat dan ada yang tidak mau bahkan sampai meninggal? Menurut teori itu, yang dilihat ada istilahnya push factor dan pull factor. "Faktor pendorong datang dari Kang MT sendiri, tapi juga ada faktor dari luar atau faktor penarik. Yang bisa positif bisa juga negatif, di mana keputusan terakhir ada pada pelakunya sendiri,” jelas Suratno.
Narasumber lainnya Matahari Timoer (Kang MT) aktivis sosial dan juga mantan ekstremis menceritakan perjalanan hidupnya. “Kita tahu kehidupan dalam gelembung ekstremisme seperti terjebak dalam labirin kegelapan, di situ kita merasa sudah menyebar pelita, cahaya kecil untuk menerangi masyarakat dengan slogan ‘dari kegelapan menuju cahaya’. Nah, keyakinan ideologis yang dipegang teguh menjadi tembok tebal yang membatasi ruang pandang dan membungkam suara hati,” ungkapnya.
Bagi mantan anggota gerakan bawah tanah yang melepaskan diri dari cengkeraman ekstremisme, kembali ke kehidupan normal adalah sebuah perjalanan spiritual yang penuh rintangan dan pergolakan batin.
Kang MT mengungkap adanya keraguan dan kebingungan. “Awal mulanya saya bingung melihat kontradiksi ideologi dengan kenyataan di lapangan. Ketika saya melihat ada kekerasan dan kekejaman yang dilakukan atas nama Allah, itu kok begini sih, mulai tergerus keyakinan saya.”
“Tembok kedua, pencarian kebenaran. Rasa haus akan kebenaran mendorong untuk mencari informasi di luar cakupannya, membaca buku, artikel, dan berbicara dengan tokoh. Saya ingin membuka mata terhadap realitas yang sebenarnya di masyarakat, dibandingkan dengan realitas yang saya alami,” imbuhnya.
Keputusan untuk meninggalkan gerakan bawah tanah menurutnya bukan perkara mudah, ancaman bahaya dan pembunuhan mengintai. “Saya sendiri ketika mau keluar dan perlawanan sudah makin terang-terangan, akhirnya kena hukuman dan darah kami dihalalkan.”
Kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi juga bukan hal yang mudah. “Di satu sisi saya melihat para pengelola negara, para politikus yang membuat saya pesimis, mereka korup bagaimana mungkin saya membenarkan pejabat korup, takluk pada oligarki, menumbalkan masyarakat adat untuk memenuhi kerakusan korporasi tambang, aparatur hukum yang bermain hukum.”
“Melihat wajah tulus rakyat Indonesia yang saling respek terhadap keragaman, itulah yang membuat akhirnya apabila kita memang berniat untuk meninggalkan satu yang salah dan kembali kepada jalur normal, Tuhan tidak akan diam,” pungkasnya.