SIGAB Indonesia Temukan Banyak Hak Politik Difabel Belum Terpenuhi di Pemilu 2024

Ariyan Rastya | Jum'at, 22/03/2024 17:25 WIB
SIGAB Indonesia Temukan Banyak Hak Politik Difabel Belum Terpenuhi di Pemilu 2024 SIGAB temukan masih banyak penyandang disabilitas yang belum terpenuhi hak politiknya selama Pemilu 2024. Foto: katakini.com

JAKARTA - Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia menemukan masih banyaknya kekurangan dalam proses Pemilu 2024 kemarin. Terutama dalam urusan hak politik difabel yang belum memenuhi standarisasi pemilu.

Bersama dengan Pusat Rehabilitasi Yakkum, dan Formasi Disabilitas, melalui dukungan Program INKLUSI (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Mewujudkan Masyarakat Inklusif), SIGAB merilis laporan pemantauan pada Pemilu 2024.

Laporan tersebut menunjukkan pelanggaran yang dialami oleh pemilih difabel selama proses penyelenggaraan Pemilu 2024. Pemantauan yang dilakukan selama periode kampanye hingga selesainya rekapitulasi KPU itu menemukan ada 45 persen TPS yang tidak memiliki informasi data pemilih difabel.

Situasi ini berimplikasi pada pengabaian terhadap layanan, aksesibilitas dan pendampingan yang dibutuhan oleh para difabel.

Terkait hal tersebut, Eksekutif Nasional FORMASI disabilitas, Nur Syarif Ramadan mengatakan penyediaan aksesibilitas dan pemahaman KPPS terkait layanan yang aksesibel dan pendampingan bagi difabel tidak didasarkan pada data yang akurat.

Banyak petugan TPS yang tidak mengetahui keberadaan pemilih disabiliitas. Sehingga pelanggaran bisa dialami saat proses pemungutan suara berlangsung.

“Saya sendiri, di Makassar, kemarin tidak terdata sebagai difabel, padahal saya difabel,” kata Syarif dalam Diskusi Publik Diseminasi Hasil Pemantauan Pemilu Serentak 2024 di Hotel Morrissey, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (22/3/2024).

Selain masalah pendataan, kelayakan aksesibilitas bagi pemilih difabel di TPS juga masih jauh dari harapan. Temuan menunjukkan bahwa sekitar 54% pemilih difabel fisik yang menggunakan kursi roda mengalami kesulitan saat memasukkan surat suara ke dalam kotak suara.

Selain itu, sekitar 41 persen petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tidak memberikan instruksi non-verbal saat memanggil pemilih difabel sensorik tuli, 84 persen TPS tidak menyediakan Juru Bahasa Isyarat (JBI), dan sekitar 69 persen di antaranya tidak memberikan informasi tentang tata cara pemungutan dengan bahasa isyarat.

Di sisi lain, pemahaman petugas pemilihan terhadap alat bantu pencoblosan bagi pemilih difabel sensorik netra juga masih belum merata. Dari 27% TPS yang diamati, sekitar 43% pemilih difabel netra menghadapi kesulitan saat memberikan hak pilihnya di bilik suara, sering memerlukan bantuan orang lain.

Lebih lanjut, sekitar 35% petugas KPPS tidak memberitahu pemilih difabel netra tentang ketersediaan template dan cara penggunaannya, sementara 33% template yang tersedia di TPS sulit digunakan oleh difabel netra. Kemudian ada 45 TPS di 15 Provinsi yang belum menyediakan formulir C3 di beberapa lokasi pemungutan suara.

“Padahal Formulir C3 dibutuhkan untuk memastikan asas kerahasiaan bagi pemilih dan proses pendampingan bagi pemilih difabel,” lanjut Syarif.

Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja juga mencatat ada pendamping pemilih difabel yang tidak menandatangani form C3 di 5.836 TPS. Temuan-temuan Bawaslu sudah disampaikan kepada KPU untuk menjadi perbaikan perbaikan, terutama menyambut Penyelenggaraan Pilkada.

“Kita punya PR besar didepan mata meski Pilkada masih akan dilaksanakan pada bulan November. KPU harus memperbaiki daftar pemilihnya,” kata Rahmat Bagja.

Berdasarkan hasil pemantauan ini, melahirkan beberapa rekomendasi Pertama, Pengawas dan penyelenggara Pemilu perlu mengeluarkan kebijakan afirmatif yang menekankan pentingnya inklusi difabel dalam seluruh tahapan Pemilu, mulai dari partisipasi partai politik hingga pemilihan kepala daerah dan kepala negara.

Selain itu juga diperlukan panduan kampanye yang memastikan keterlibatan aktif dan inklusi difabel serta kelompok rentan lainnya, termasuk akses yang memadai terhadap materi dan kegiatan kampanye.

Kemudian yang ketiga, KPU harus memastikan penunjukkan status dan jenis disabilitas pada Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di semua tingkatan, sehingga Petugas Pemungutan Suara (PPS) dapat memahami keberadaan difabel yang akan menggunakan hak pilihnya.