JAKARTA - Ketua MPR Bambang Soesatyo mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) masih menyisakan pekerjaan rumah bagi parlemen dan pemerintah yang akan datang.
Salah satunya terkait perbaikan aturan main dalam Pemilu (legislatif dan presiden-wakil presiden). Selain putusan PHPU, ada juga beberapa putusan MK terkait uji materi UU Pemilu yang harus ditindaklanjuti.
Begitupun dengan pandangan berbagai pihak dan pendapat para ahli yang juga bisa menjadi masukan berharga dalam melakukan pembaharuan hukum nasional agar penyelenggaraan Pemilu semakin demokratis.
Misalnya, pandangan presiden terpilih Prabowo Subianto yang mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia berisik dan melelahkan. Serta pandangan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono yang menilai politik semakin mahal.
"Berbagai pandangan tersebut mengindikasikan bahwa perlu adanya evaluasi untuk menyempurnakan sistem Pemilu, baik dari segi peraturan maupun teknis di lapangan," ujar Bamsoet.
Hal itu disampaikan Bamsoet saat mengajar mata kuliah Pembaharuan Hukum Nasional dengan Nilai Demokrasi, Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Borobudur, di Jakarta, Sabtu (27/4/24).
Dosen tetap pascasarjana Universitas Bororobudur, Trisakti dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN) ini menjelaskan, secara umum dari berbagai putusan MK dan hasil evaluasi Pemilu dan Pilkada dari berbagai kalangan, ada beberapa hal yang perlu disempurnakan dalam UU Pemilu yang akan datang.
Antara lain terkait sistem Pemilu, ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan presiden - wakil presiden, besaran kursi per dapil, konversi suara menjadi kursi, keserentakan Pemilu, digitalisasi, hingga biaya politik yang mahal.
"Ada baiknya penyempurnaan UU Pemilu tersebut selesai pada awal masa pemerintahan yang akan datang. Jika selesai di tahun 2025 atau 2026, maka partai politik dan penyelenggara Pemilu serta pihak terkait lainnya memiliki cukup waktu melakukan sosialisasi dan persiapan hingga pelaksanaan Pemilu 2029," kata Bamsoet.
Bamsoet menerangkan, kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak tahun 2017 lalu sudah melakukan kajian yang menekankan perlunya negara hadir memberikan dukungan terhadap pendanaan partai politik. Sehingga partai politik tidak tersesat dalam memenuhi kebutuhan operasionalnya.
Idealnya, per suara sah yang didapatkan partai politik dikompensasi Rp 16.922. Dari kebutuhan ideal tersebut, setidaknya menurut KPK dan LIPI, negara bisa memenuhi 50 persennya, yakni sekitar Rp 8.461 per suara.
Saat ini, berdasarkan PP Nomor 1 Tahun 2018, negara hanya memberikan bantuan pendanaan kepada partai politik sebesar Rp 1.000 per suara sah.
"Hasil kajian KPK dan LIPI tersebut sangat menarik untuk dielaborasi lebih jauh, sehingga partai politik tidak lagi terjebak dalam oligarki. Membersihkan partai politik dari torpedo oligarki kekuatan uang juga akan berefek pada kualitas pengambilan keputusan politik dalam melayani kepentingan rakyat yang lebih besar," ujar Bamsoet.