JAKARTA - Institut Studi Politik Paris (Sciences Po) menolak tuntutan para pengunjuk rasa untuk meninjau kembali hubungannya dengan universitas-universitas Israel, kata direktur sementara Jean Basseres, yang mendorong beberapa mahasiswa untuk mengatakan bahwa mereka akan melakukan mogok makan sebagai protes.
Keputusan pada hari Kamis (2/5/2024) itu diambil setelah mahasiswa di beberapa universitas Prancis, termasuk Sciences Po dan Universitas Sorbonne, memblokir atau menduduki institusi mereka untuk memprotes perang Israel di Gaza menyusul protes serupa di Amerika Serikat.
“Saya jelas menolak untuk membentuk kelompok kerja mengenai hubungan kami dengan universitas-universitas Israel dan perusahaan mitra,” kata Basseres kepada wartawan setelah pertemuan di balai kota dengan mahasiswa dan staf.
Puluhan mahasiswa segera melakukan aksi duduk di dalam universitas untuk memprotes keputusan Basseres.
“Seorang pelajar pertama melakukan mogok makan sebagai bentuk solidaritas terhadap para korban Palestina, namun terlebih lagi untuk memprotes cara Sciences Po menindas pelajar yang ingin menunjukkan dukungan mereka terhadap Palestina,” kata Hicham, seorang mahasiswa pengunjuk rasa Sciences Po.
Lebih banyak mahasiswa akan bergabung dalam aksi mogok makan, katanya kepada wartawan, sambil menuntut agar administrasi universitas menyetujui dewan direksi untuk mengadakan pemungutan suara publik mengenai peninjauan kemitraan dengan universitas-universitas Israel.
Balai kota adalah salah satu syarat yang ditetapkan minggu lalu bagi mahasiswa Sciences Po untuk membatalkan protes mereka atas perang di Gaza.
Banyak juga yang meminta universitas tersebut untuk memutuskan semua hubungan dengan Israel.
Basseres mengatakan dia sadar bahwa menolak membentuk kelompok kerja untuk meninjau hubungan dengan Israel dapat membuat marah beberapa pengunjuk rasa.
“Saya menyerukan kepada semua orang untuk menunjukkan rasa tanggung jawab,” katanya, dan mendesak para pengunjuk rasa untuk tidak mengganggu ujian, yang akan dimulai minggu depan.
Universitas elit ilmu politik akan berupaya mencari cara terbaik untuk menyelenggarakan debat internal mengenai topik-topik kontroversial, kata Basseres, seraya menambahkan bahwa universitas tersebut telah memiliki peraturan untuk meninjau kembali kemitraannya.
“Hubungan terakhir yang harus diputuskan adalah hubungan antar universitas,” kata Arancha Gonzalez, kepala Sekolah Urusan Internasional Sciences Po.
Universitas berusia 150 tahun ini telah menjadi lokasi protes pro-Palestina selama beberapa hari.
Beberapa demonstran memblokir pintu masuk ke universitas, dan tenda-tenda didirikan di halaman tengah untuk kamp protes.
Pekan lalu, bentrokan terjadi setelah ratusan mahasiswa turun ke jalan dan polisi bergerak ketika sekitar 50 demonstran pro-Israel tiba.
Otoritas universitas setuju untuk membatalkan semua proses disipliner terhadap para demonstran, kata sebuah catatan yang dikirimkan kepada mahasiswa dan fakultas oleh Basseres.
Prancis adalah rumah bagi populasi Yahudi terbesar di dunia setelah Israel dan Amerika Serikat serta komunitas Muslim terbesar di Eropa. (*)