JAKARTA - Anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang tentang Penyiaran DPR RI, Nurul Arifin memastikan, regulasi tersebut tidak akan membungkam kebebasan pers
"Tidak ada tendensi untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini," kata Nurul di Jakarta, Selasa (14/5/2025).
Dia menambahkan, Komisi I DPR RI terus membuka diri terhadap masukan seluruh lapisan masyarakat terkait RUU Penyiaran. Hal ini karena RUU tersebut masih akan diharmonisasi di Badan Legislasi DPR RI.
"RUU Penyiaran yang tengah dibahas di DPR, masih dalam proses, jadi belum final," kata Nurul menegaskan.
Dia menjelaskan beberapa pasal RUU Penyiaran yang mendapatkan kritik, seperti pada Pasal 8A ayat (1) huruf (q) dan Pasal 42, yang memberikan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Selain itu, Pasal 50B ayat (2) huruf (c) yang memuat larangan isi siaran dan konten siaran menayangkan tayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
"RUU yang beredar bukan produk yang final, sehingga masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU Penyiaran," katanya.
Menurut dia, terdapat beberapa pokok yang diatur pada RUU Penyiaran, seperti pengaturan penyiaran dengan teknologi digital dan penyelenggaraan platform digital penyiaran, perluasan wewenang KPI, hingga penegasan migrasi analog ke digital atau analog switch-off.
Kata dia, RUU Penyiaran ini adalah perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang mana sebetulnya sudah digulirkan sejak tahun 2012. Namun seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, kita memerlukan penguatan regulasi penyiaran digital, khususnya layanan Over The Top (OTT) dan User Generated Content (UGC).
"Jadi secara substansi kita memang membutuhkan revisi UU Penyiaran ini," ujarnya.