JAKARTA - Starlink secara resmi telah masuk ke Indonesia. Peresmian perangkat internet itu dihadiri langsung oleh CEO Space X sekaligus Tesla Ins, Elon Musk.
Peresmian Starlink membuat sebagian pakar telekomunikasi buka suara. Salah satunya yakni Guru Besar Komunikasii Universitas Airlangga, Prof. Dr. Henri Subiyakto.
Ia mengatakan tidak setuju Starlink beroperasi di Indonesia. Alasannya, karena bisa membuat beberapa perusahaan telekomunikasi dan Internet Service Provider (ISP) di Indonesia bangkrut.
Selain itu, ia juga berpendapat bahwa Starlink bisa saja dimanfaatkan oleh kelompok separatis KKB atau OPM dalam melakukan komunikasi tanpa diketahui pemerintah.
“Saya tidak setuju Starlink diizinkan beroperasi di Indonesia. Starlink berpotensi akan mengoyak NKRI,” kata Prof Henri dalam akun X @henrysubiakto miliknya.
Pria yang pernah 15 tahun menjadi Staf Ahli Menkominfo ini mengatakan, Starlink di luar negeri lebih banyak digunakan negara-negara pendukung atau negara satelit Amerika Serikat (AS).
Satelit Starlink memiliki perbedaan signifikan dibandingkan satelit biasa seperti Palapa, Satria, Kacific, Telkom 1 dan satelit-satelit lain milik Eropa maupun AS di luar Starlink.
Starlink adalah satelit Low Earth Orbit (LEO) yang beroperasi di ketinggian sekitar 340 hingga 1.200 kilometer di atas permukaan bumi.
Ukuran Starlink lebih kecil tapi jumlahnya ribuan, dirancang bekerja bersama secara sinkron menyediakan layanan internet. Ini seolah seperti BTS terbang.
Sementara satelit komunikasi konvensional, papar Henri, ditempatkan di orbit geostasioner (GEO) sekitar 35.786 kilometer di atas Khatulistiwa bumi, berada di satu titik relatif tetap dari permukaan bumi. Untuk bisa melayani publik, satelit ini butuh perangkat di stasiun bumi.
Bobot Starlink sekitar 260 kilogram. Satelit GEO lebih besar dan mahal karena teknologi dan perlengkapannya lebih kompleks dengan kebutuhan bertahan di orbit yang lebih tinggi.
“Maka masuknya Starlink bisa jadi awal kematian perusahaan-perusahaan nasional di bidang internet, seluler dan juga satelit,” tukasnya.
Jadi, lanjut Henri, Starlink bukan sekadar perusahaan perangkat dan layanan satelit semata, tapi juga berperan sebagai perusahaan ISP.
Hal ini membuat penggunaan Starlink menjadi lebih multifungsi. Ia melihat Starlink bisa dijadikan sebagai platform digital seperti aplikasi X (Twitter) yang dimiliki oleh Elon Musk.
“Bahkan bisa berfungsi sebagai platform digital, mengingat Elon Musk juga memiliki perusahaan X (dulu Twitter) yang sekarang tidak sekadar media sosial, tp juga mengarah jadi platform media komunikasi. Ini bahayanya,” ulasnya.
Menurutnya, Starlink haru patuh dan tunduk di bawah pemerintahan Indonesia jika ingin melebarkan sayapnya di Tanah Air. Ia takut akan banyak kebocoran data yang bisa langsung terakses ke Amerika Serikat.
“Tapi harus terbuka pada pemerintah dan penegak hukum AS. Persoalannya, Starlink apa mau nurut hukum di Indonesia atau hukum AS?” keluhnya.
"Agak mending kalau Elon bersedia setuju dan komit tunduk pada Undang-Undang Indonesia. Lalu area layanan tidak mencakup wilayah rawan seperti Papua, tapi apakah Elon Musk mau diatur begitu?” pungkasnya.