JAKARTA - Di sudut hutan di Papua, Indonesia, suku Awyu menunggu keputusan Mahkamah Agung yang akan menentukan apakah ribuan hektar hutan hujan akan ditebangi untuk konsesi kelapa sawit yang luas untuk ditanam di atas kuburan nenek moyang mereka.
“Burung cendrawasih, kasuari… tempat keramat, dan jalan nenek moyang kita ada disana,” kata pria Awyu, Hendrikus ‘Franky’ Woro. “Jika kuburan nenek moyang kami disingkirkan, maka kami berdosa terhadap mereka.”
Yang dipertaruhkan dalam tiga kasus yang sedang diputuskan oleh pengadilan ini adalah nasib hampir 115.000 hektar hutan, yang merupakan bagian dari blok minyak sawit kolektif terbesar di negara pengekspor minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia.
Terletak di Boven Digoel, Papua, blok seluas 270.000 hektar ini dibagi menjadi tujuh konsesi, tiga di antaranya kini diperebutkan secara hukum.
Keputusan pengadilan tersebut, yang diharapkan oleh para pengacara pada bulan ini, akan menjadi preseden penting di negara yang telah berjanji untuk melindungi industri ekspor senilai $30 miliar, dan meningkatkan tata kelola di tengah tuduhan penggundulan hutan dan pelanggaran hak asasi manusia.
“Ini adalah pertama kalinya argumen hubungan masyarakat adat-iklim yang jelas diajukan dalam kasus seperti ini,” kata Difa Shafira, dari kelompok konservasi Pusat Hukum Lingkungan Hidup Indonesia, mengacu pada perhitungan bahwa pembukaan lahan akan menghasilkan emisi sekitar 23 juta ton. karbon dioksida yang berbahaya bagi lingkungan.
Mewakili marga Woro masyarakat Awyu, yang mengklaim kepemilikan adat atas tanah tersebut, Franky telah memperjuangkan konsesi yang diberikan kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL) atas lahan seluas 36.000 hektar, yang luasnya lebih dari setengah luas Jakarta.
Perkara yang diajukan ke pengadilan yang lebih rendah pada tahun 2023 ditolak dan kini berada pada tahap akhir di Mahkamah Agung.
Dalam pernyataannya, IAL mengatakan pihaknya telah memperoleh semua izin yang diperlukan secara hukum dan telah mencapai kesepakatan dengan 12 marga adat di wilayah tersebut.
“Marga Woro bertindak atas nama individu dan tidak mewakili marga yang memberikan dukungannya kepada perusahaan,” katanya.
Menurut arsip internet, Wayback Machine, IAL terdaftar sebagai milik Whole Asia Group Malaysia. Situs web tersebut ditutup pada bulan Juni dan IAL tidak segera menanggapi pertanyaan tentang kepemilikannya.
Selain kasus IAL, anggota Awyu lainnya juga berupaya mencabut izin PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya, dua perusahaan kelapa sawit lain yang memberikan konsesi di blok tersebut.
Pengacara Eddy Marek Leks yang mewakili kedua perusahaan tersebut mengatakan, perusahaan tersebut telah memperoleh izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengadilan belum memberikan tanggal putusannya, namun diperkirakan akan memutuskan semua kasus secara bersamaan.
PENGGUNDULAN HUTAN
Sebagai rumah bagi sepertiga hutan hujan dunia, Indonesia memberlakukan moratorium pembukaan hutan untuk kegiatan seperti kelapa sawit dan penebangan kayu pada tahun 2011.
Kebijakan ini telah diperluas, namun beberapa hutan terus ditebangi karena kurangnya pengawasan, kohesi peraturan dan klasifikasi lahan, termasuk untuk kelapa sawit.
Digunakan dalam segala hal mulai dari coklat, sabun, bahan bakar, dan lipstik, minyak sawit adalah minyak nabati yang paling banyak digunakan di dunia, dengan hampir 60% berasal dari Indonesia.
Kaitan antara minyak dan deforestasi merupakan faktor pendorong peraturan baru Uni Eropa yang melarang impor produk yang terkait dengan pembukaan hutan.
Kawasan hutan yang ingin dilindungi oleh Franky diklasifikasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2012 sebagai “kawasan penggunaan lain”, yang berarti kawasan tersebut dapat digunakan untuk perkebunan kelapa sawit.
Namun kini tampaknya ada perubahan dalam nada resminya.
Saat ditanyai di parlemen pekan lalu, Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar mengatakan hutan primer tidak boleh ditebangi, dan pemerintah saat ini mengklasifikasikan ulang hutan primer yang masih utuh menjadi hutan adat, atau hutan yang diperuntukkan bagi masyarakat adat di wilayah tersebut.
Bepergian ke Jakarta dengan membawa sebidang tanah simbolis, Franky mengatakan keputusan tersebut akan menentukan masa depan sukunya.
“Kita bisa hidup tanpa pertambangan, tanpa kelapa sawit,” katanya, “Tapi kalau kita tidak punya hutan adat, kita tidak bisa hidup.”