JAKARTA – Pilkada Daerah Khusus Jakarta (DKJ) makin mendekat. Pendaftaran calon gubernur dan calon wakil gubernur hanya tersisa sekitar dua bulan lagi. Berdasarkan PKPU No. 2 Tahun 2024, pendaftaran pasangan calon dilakukan pada 27 hingga 29 Agustus 2024.
Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J Rachbini menganalisi fenomena Pilkada DKJ dan peluang pasangan Anies Baswedan dan Sohibul Iman (Aman) yang keduanya berasal dari Universitas Paramadina.
“Pasangan Aman bisa bubar karena proses lobi yang intensif, atraktif, bahkan liar,” kata Prof. Didik melalui keterangannya yang diteria katakini.com, Jumat (28/6/2024).
Meskipun demikian, lanjutnya, Anies tetap akan menjadi rebutan sehingga menjadi calon paling potensial jadi.
“Kecuali ada konspirasi kekuatan jahil untuk meruntuhkannya,” kata Prof. Didik.
Bila hal itu sampai terjadi, menurut pendiri INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) ini, Ridwan Kamil akan mengambil peluang ini dan keberuntungan untuk tahun 2029.
“Jadi Pilkada DKJ ini sangat jelas berhubungan langsung dengan politik 2029, khususnya Pilpres,” ujaarnya.
Bagi Prof. Didik, kehadiran eksperimen pasangan Anies-Iman begitu menarik perhatian publik dan menjadikan pilkada DKJ lebih bergema secara nasional, hampir setara pemilihan Presiden.
“Mengapa? Karena Pilkada DKJ menjadi barometer nasional dan para gubernurnya sekaligus menjadi tokoh kaliber nasional, yang potensial menjadi presiden pada periode berikutnya,” kata Prof. Didik.
Yang menarik dan juga menjadi perhatian publik, karena Shohibul Iman, PhD (PKS) dan Anies Baswedan, PhD, keduanya adalah mantan rektor Universitas Paramadina.
Universitas Paramadina tidak besar dengan jumlah mahasiswa yang sangat banyak, tetapi juga tidak kecil karena pada saat ini jumlah mahasiswanya hampir 6000 orang.
Menurutnya, dengan kehadiran tokoh-tokoh yang hebat, Universitas Paramadina ke depan akan semakin dikenal, dipercaya dan diminati oleh masyarakat dan publik secara luas sehingga akan menjadi universitas yang besar.
Sebenarnya tidak hanya Anies dan Shohibul Iman yang tampil di panggung nasional dan ikut membesarkan nama Paramadina. Selain mereka, di Paramadina ada nama Sudirman Said pernah menjadi menteri ESDM dan berniat juga menjadi calon gubernur DKJ. Ada juga Sandi Uno (PPP), berdahara di Paramadina, sangat aktif di dalam politik. Termasuk Jusuf Kalla sendiri, yang sekarang menjadi Ketua Badan Pembina yayasan.
“Tidak kalah dari semuanya, ada juga Tia Rahmania (PDIP), Dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, yang terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2024-2029, Daerah Pemilihan Banten,” ujarnnya.
Lalu apa yang menarik? lanjut Prof. Didik, Paramadina secara faktual ada Yayasan, Universitas, pengajian, dan aktivitas kemasyarakatan lainnya. Paramadina yang didirikan Nurcholich Madjid dan kawan-kawannya ini sejatinya adalah sebuah gerakan pemikiran, intelektual, sosial pendidikan, aktivisme dan lainnya.
“Paramadina tidak sekadar kampus, yang memang lebih dikenal, tetapi sejatinya adalah gerakan yang luas, sehingga tidak aneh muncul tokoh-tokoh berbagai warna,” tegasnya.
Ketika Anies menjadi calon gubernur atau calon presiden, di Paramadina ada yang memilihnya dan ada yang tidak, sesuai keyakinan masing-masing. Paramadina memang memang bukan partai politik, orang-orang yang berkegiatan di Paramadina ketika masuk ke dalamnya tidak berpolitik praktis sehingga bisa menerima semua kalangan.
“Kembali ke Pilkada DKJ, ini menarik sekali bukan hanya karena Anies, Iman, dan PKS, yang memenangkan pemilihan legislatif di Jakarta. Di kota ini pilkada berlangsung dengan suasana seperti pilpres, sehingga menarik perhatian semua kalangan pengamat, media, luar negeri, dan masyarakat sendiri,” tuturnya.
Di Pilkada DKJ, sudah jelas Anies paling tinggi daya jual dan elektabilitasnya. PKS dalam hal ini bergerak lebih awal dengan semangat merebut lebih dahulu ketimbang NasDem dan PKB yang sudah berniat semi terbuka untuk mwencalonkannya.
“Karena tidak merupakan hasil musyawarah, maka beberapa pihak analis menyatakan pasangan Aman ini tidak aman. Memang begitulah politik, sebelum penetapan resmi KPUD, siapa pun bakal calon di pilkada ini masih bisa berubah total terbalik dari rencana semula,” analisis Prof. Didik.
“Ini ciri politik Indonesia yang sama sekali tidak memiliki ideologi apa pun, kecuali transaksional belaka,” imbuhnya.
Menurut Prof. Didik, bagi Anies sendiri, Pilkada DKJ turun pangkat, tetapi penting untuk persiapan Pilpres 2029. Jika mundur dari politik sudah pasti namanya lenyap dari peredaran, seperi Wiranto, Agum Gumelar, Hatta Rajasa, dan lain-lain.
Di sisi lain, PKS paling sukses dan paling tinggi perolehan suaranya di Jakarta. Tetapi untuk urusan pencalonan gubernur tidak bisa sendiri sehingga memerlukan kawan partai lain. Posisi merebut lebih berhasil juga merebut perhatian publik. Tetapi bukan tidak mungkin ini menjadi bumerang bagi pasangan ini bubar ketika lobi-lobi lanjutan terjadi.
NasDem dan PKB tentu tidak bisa menelan begitu saja semacam “corporate action” ini.
“Lobi akan terus berlangsung dengan interest yang pasti kuat dari partai-partai lainnya,” ujar Prof. Didik.
“Bagaimana jika Ahok masuk gelanggang dan diusung kembali oleh partai seperti PDIP? Action seperti ini perkara baru, yang bisa membangunkan lagi radikalisme tertentu dan akan menular lebih luas. Termasuk akan kembali mengulangi 2017,” demikian analisis Prof. Didik.