JAKARTA - Ketua MPR Bambang Soesatyo alias Bamsoet meminta pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap masih tingginya nilai impor minyak Indonesia. Tingginya impor mentah dan hasil minyak Indonesia, salah satunya disebabkan masih rendahnya produksi minyak dalam negeri.
Menurut Dosen Tetap Pascasarjana S3 Program Studi Ilmu Hukum Universitas Borobudur ini, dikhawatirkan tingginya nilai impor minyak Indonesia terus berpengaruh signifikan terhadap defisit neraca perdagangan.
Bamsoet juga sepakat bahwa Pemerintah dan DPR harus merubah politik hukum pengelolaan sumber daya minyak dan gas bumi dengan merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Serta, memperbaiki kembali landasan filosofis pembentukan peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan minyak dan gas bumi ke depan dengan berpangkal pada Pancasila. Di mana sistem pengelolaan ekonominya lebih mengarah pada demokrasi ekomoni yang dilandasi dengan asas kekeluargaan dan gotongroyong.
"Data Kementerian ESDM mencatat saat ini produksi minyak nasional rata-rata hanya berkisar di level 600 ribu barel per hari (bph). Di sisi lain, saat ini Indonesia masih mengimpor minyak dari berbagai negara dengan total 840 ribu barel per hari (bph). Terdiri dari minyak mentah sebesar 240 ribu bph dan produk BBM sebesar 600 ribu bph," ujar Bamsoet.
Hal itu disampaikan Bamsoet usai menguji sidang tertutup mahasiswa S3 program doktor Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Junaidi Elvis, yang meneliti tentang `Politik Hukum Pengelolaan Sumber Daya Minyak dan Gas Bumi Menurut Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945`, secara daring dari Jakarta, Jumat (28/6/24).
Ia menuturkan konflik di Timur Tengah antara Israel dan Hizbullah Lebanon yang terus meningkat berpengaruh besar terhadap harga minyak dunia.
Pada perdagangan hari ini, harga minyak brent naik 0,41% ke posisi US$ 86,75 per barel. Sementara minyak mentah berjangka West Texas Intermediate AS naik 86 sen, atau 1,06%, menjadi US$ 81,76.
"Semua pihak tahu naiknya harga minyak mentah memberi tekanan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Nilai impor minyak menjadi mahal. Demikian pula subsidi bahan bakar minyak (BBM) ikut membengkak," kata Bamsoet.
"Belum lagi menguatnya nilai tukar dolar AS di tengah suku bunga acuan yang tinggi, menyebabkan pengeluaran untuk membayar pokok dan bunga utang luar negeri menjadi lebih besar dari sebelumnya juga menambah beban APBN," sambungnya.
Bamsoet menjelaskan, menghadapi situasi global yang tidak menentu, pemerintah harus berani membuat strategi kebijakan yang bernuansa antisipatif.
Langkah penting yang harus diambil adalah merumuskan strategi bersama untuk memperkuat daya beli atau konsumsi masyarakat, menjaga laju inflasi agar tetap terkendali serta mencari strategi yang efektif untuk tidak menaikkan harga BBM bersubsidi dalam jangka dekat ini.
Selain itu, sambung Bamsoet, pemerintah juga perlu memperbaiki serta meningkatkan pengelolaan sumber daya alam, baik dari aspek permodalan, aspek sumber daya manusia serta aspek teknologi.
"Pengelolaan sumber daya alam tersebut harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagai bentuk keberpihakan pemerintah kepada kepentingan masyarakat."
"Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat," ujar Bamsoet.