JAKARTA - Ketua MPR Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengapresiasi hadirnya buku "Pikiran dan Ide Prof. H. Paiman Raharjo." Menjadi saksi perjalanan kehidupan Prof. Paiman, yang mengawali karier sebagai tukang sapu, kemudian melanjutkan pendidikan hingga lulus S3 (program doktoral) di UNPAD.
Hingga akhirnya Prof. Paiman sukses menjabat sebagai Rektor Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), dan saat ini dipercaya sebagai Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Dalam kesempatan tersebut Bamsoet mengingatkan penyakit masyarakat yang kerap menghambat kesuksesan seseorang yang harus dihindari. Yaitu, susah melihat orang senang, senang melihat orang susah.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan dengan mengutip pemikiran Barbara Tuchman Wertheim, seorang sejarawan dan penulis Amerika
Serikat, yang telah dua kali memenangkan penghargaan Pulitzer. Barbra mengungkapkan, bahwa “Buku adalah pembawa peradaban”.
Buku melingkupi segenap aspek kehidupan kita: ia dapat menjadi sahabat, pembimbing, transformator, dan sekaligus rumah tempat bernaung bagi
ribuan ide dan gagasan. Oleh karenanya, buku akan menjadi legasi pemikiran yang tidak akan lekang oleh waktu, yang akan terus diwariskan dari generasi ke generasi.
"Didalam buku ini terdapat tulisan inspiratif hasil berbagai pertemuan Prof. Paiman dengan berbagai kalangan, baik di kantor, di jalanan, di angkringan, dan lainnya," ujar Bamsoet saat membuka Bedah Buku "Pikiran dan Ide Prof. Paiman Raharjo", di kantor Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Jakarta, Kamis (4/7/24)
"Dari obrolan tersebut, Prof. Paiman mengakui bahwa siapa pun orangnya, tanpa melihat pangkat dan tingkat pendidikan, mereka juga memiliki pemikiran tersendiri tentang dunia politik, pendidikan, karier, persahabatan, dan sebagainya, yang adakalanya sangat unik. Berbagai pemikiran yang unik-unik itulah yang ada di dalam buku ini," sambung Bamsoet.
Ia menjelaskan, sebagaimana disampaikan Prof. Paiman dalam buku ini serta dibuktikan dalam perjalanan karirnya, bahwa kesuksesan tidak pernah bersifat diskriminatif, atau memihak berdasarkan strata ekonomi, kelas sosial, atau berbagai label atributif sosial lainnya. Kesuksesan akan menjadi milik siapa saja yang mau bekerja keras, pantang menyerah, serta menyandarkan diri pada nilai-nilai dan norma agama.
"Dari buku ini kita bisa belajar, bahwa hidup itu seperti maraton, yang harus dijalani dan dinikmati setiap prosesnya. Bukan lari sprint yang hanya berorientasi pada perolehan hasil yang serba cepat. Hidup meniscayakan kita untuk melewati proses yang panjang untuk mencapai sebuah kesuksesan. Tidak bisa secara serta merta, apalagi dengan menghalalkan segala cara," kata Bamsoet.
Ia menerangkan, dalam konteks ke-Indonesiaan, buku ini juga mengajak untuk berkontemplasi, bahwa jurang kesenjangan sosial-ekonomi masih menjadi realitas sosial yang harus disikapi dengan bijaksana.Persoalan lain yang mengemuka, bahkan dalam kehidupan bermasyarakat yang ada di sekitar, masih sering dijumpai contoh perilaku yang tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan diskriminatif, yang “terlanjur” dianggap lazim sebagai fenomena sosial.
"Dalam konteks pembangunan di Indonesia, buku ini juga mengajak pembaca untuk menata dan meneguhkan kembali orientasi pembangunan nasional. Misalnya, sebagai negara agraris dan kepulauan, arah pembangunan Indonesia tidak seharusnya hanya cenderung pada pembangunan negara industri saja. Sebutan negara agraris bagi negara yang masih menggantungkan impor hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan, tentunya menjadi suatu paradoks," ujar Bamsoet.
Ia menambahkan, sedangkan dalam konteks kehidupan politik di tanah air, keteladanan perilaku dari para elit politik masih menjadi persoalan tersendiri. Tidak jarang, syahwat politik dapat membutakan mata hati para elit politik, yang terus merasa haus akan kekuasaan. Sehingga tidak sadar kapan harus menghentikan ambisi politiknya, demi kepentingan yang lebih besar.
"Pesan moral yang dapat kita jadikan cerminan dari buku ini adalah, bahwa jalan kehidupan tidak selamanya mulus, terkadang kita dihadapkan pada berbagai tantangan yang menghadang. Di sisi lain, kita pun tidak boleh bersikap apatis dan pesimis, karena masih banyak tokoh masyarakat dan tokoh bangsa, yang kisah perjalanan hidupnya dapat kita jadikan inspirasi, seperti kisah Prof. Paiman," ujar Bamsoet.