• News

Terdapat Kekhawatiran Tinggi Masyarakat Bali Terhadap Dampak Perubahan Iklim

Eko Budhiarto | Jum'at, 05/07/2024 16:00 WIB
Terdapat Kekhawatiran Tinggi Masyarakat Bali Terhadap Dampak Perubahan Iklim Seminar Internasional dengan tema Harvesting Resilience: Navigating Food Security Challenges in a Changing Climate yang diselenggarakan serangkaian HUT Badan Kekeluargaan (BK) Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa di Denpasar, Jumat (5/7/2024). (foto:Ist).

DENPASAR - Masyarakat Bali mengalami kekhawatiran yang tinggi terhadap dampak perubahan iklim, dimana masyarakat mengkhawatirkan akan ketahanan pangan dan kesediaan air.

Hal tersebut disampaikan Dr. Rodney Westerlaken M.A., M.Ed., M.Si, Pendiri Yayasan Westerlaken Alliance Indonesia saat menjadi narasumber dalam Seminar Internasional dengan tema “Harvesting Resilience: Navigating Food Security Challenges in a Changing Climate” yang diselenggarakan serangkaian HUT Badan Kekeluargaan (BK) Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa di Denpasar, Jumat (5/7/2024).

Westerlaken mengutip data Inisiatif Matangi Bali tentang perubahan ikim di Bali sejak Oktober 2023 - Jan 2024 mendapatkan fakta 97,5% responden mengungkapkan kecemasan yang tinggi terhadap perubahan iklim, 53% mengkhawatirkan dampak kesehatan dan 47% mengkhawatirkan ketersediaan makanan dan air.

“Dampak lokal yang terasa, menurunnya aliran sungai di Tigawasa, Buleleng, meningkatnya banjir sejak tahun 2010 di Jembrana, Ubud, Renon. Naiknya permukaan air laut di Kabupaten Klungkung” kata Westerlaken.

Menurutnya, kekeringan mungkin merupakan kekhawatiran terbesar di antara semua bencana yang berhubungan dengan cuaca untuk produksi padi. Konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian diidentifikasi sebagai ancaman besar terhadap produksi padi. Data statistik menunjukkan menyusutnya penggunaan lahan untuk pertanian.

Direktur Pusat Penelitian Fungsi Pangan dan Kesehatan, Universitas Ehima, Jepang, Prof. Takuya Sugahara mengakui perubahan iklim juga telah mempengaruhi produksi jeruk di Jepang. Kawasan yang cocok untuk budidaya jeruk rata-rata memiliki suhu antara 15 hingga 18 derajat Celcius. Namun, kedepan wilayah bersuhu tinggi yang tidak cocok untuk bercocok tanam juga diperkirakan akan semakin meluas. 

Takuya menjelaskan tantanganya saat ini produksi limbah kulit jeruk cukup besar yang dihasilkan dari pabrik jus. Pemanfaatannya mesti dilakukan sebagai upaya mengurangi emisi dari limbah yang dihasilkan.

“Kulit jeruk mengandung berbagai bahan yang bermanfaat bagi kesehatan, dan pemanfaatan kulit jeruk secara efektif tidak hanya mengurangi emisi limbah, namun juga mengarah pada pengembangan pangan fungsional” paparnya. 

Prof. B. Ravindran, PhD dari Departemen Energi & Teknik Lingkungan Universitas Kyanggi, Korea Selatan menyampaikan upaya mitigasi emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim wajib dilakukan untuk mendukung pertumbuhan tanaman guna mencapai ketahanan pangan. Pengomposan menjadi salah satu alternatif dalam mengurangi limbah dan disisi lain membantu menjaga kesuburan tanah.

“Proses pengomposan dapat diterima secara sosial dan merupakan salah satu teknologi yang paling sesuai untuk pengolahan dan pembuangan limbah. Kompos memperbaiki struktur tanah, menghemat air, mengisi kembali nutrisi yang hilang, dan mendukung mikroorganisme yang bermanfaat” ungkap Ravindran.

Sementara Wakil Rektor Bidang Kerjasama dan Kemahasiswaan, Dr. I Nyoman Sujana, M.Hum dalam sambutannya mengatakan perubahan iklim ini memiliki pengaruh besar dalam sektor pertanian. Situasi ini dikatakan berpengaruh terhadap ketidaktahanan pangan serta berdampak kepada kesejahteraan petani maupun masyarakat konsumen. 

Sujana menambahkan bahwa peran pemerintah juga sangat penting dalam pengambilan keputusan dan penerapan kebijakan yang membantu pertanian berkelanjutan ini dapat terwujud. Ia juga menekankan peran pemerintah dalam pengembangan pertanian, distribusi, serta kesejahteraan masyarakat sangat penting dalam penerapan kebijakan yang berhubungan dengan hal ketahanan pangan ini.

 

FOLLOW US