JAKARTA - Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi menyatakan, dibutuhkan tebu varietas baru untuk mempercepat swasembada gula.
Dalam sambutannya pada Seminar Nasional Strategi Peningkatan Ketersediaan Pasokan, Stabilisasi Harga, dan Pencapaian Swasembada Gula Tebu di Indonesia, yang diselenggarakan secara hybird di kantor NFA, Jakarta, Rabu (24/7/2024), Arief menuturkan salah satu strategi percepatan swasembada gula ialah dengan meningkatkan produktivitas tanaman tebu dan rendemen gula.
Untuk itu, lanjut dia, di samping ekstensifikasi 700.000 hektare sebagaimana instruksi Presiden Joko Widodo dalam Perpres 40/2023, dilakukan pula upaya-upaya intensifikasi antara lain melalui bongkar ratoon, penyediaan benih unggul, penyediaan pupuk dan alsintan, serta revitalisasi pabrik-pabrik gula.
“Selama rendemen kita masih di bawah 8 persen memang tidak efisien. Jadi nanti ke depan kita mau minta tolong sama ahlinya, yaitu BRIN. Tolong dicarikan benih/bibit varietas yang baik disesuaikan dengan wilayahnya, harus muncul varietas-varietas baru sehingga nanti tebu yang dihasilkan itu seperti yang memang kita citakan bersama-sama,” tutur Arief.
“Tentunya nanti teknis di lapangan seperti pupuk, bongkar ratoon ya itu menjadi penting. Jadi mungkin urut-urutannya kalau kita lihat ya satu harga di tingkat petani, kedua bibit/benih, ketiga pupuk, keempat lahan mana yang akan disecure, kemudian perbaikan dari pabrik-pabrik gula kita, kemudian berikutnya lagi bagaimana kita harus punya stok untuk Cadangan Pangan Pemerintah (CPP),” tambahnya.
Intensifikasi melalui kegiatan bongkar ratoon dan penggunaan bibit unggul akan dapat meningkatkan produktivitas tanaman tebu sehingga bisa mencapai target 93 ton/hektar. Tentunya ini harus diikuti dengan upaya penyediaan pupuk, pengairan yang baik, dan alsintan yang memadai yang dapat mendukung upaya-upaya peningkatan produktivitas.
Untuk mewujudkan hal ini NFA akan terus membangun sinergi dan kolaborasi dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), salah satunya untuk menyiapkan varietas tebu unggul bagi petani yang sesuai dengan kondisi wilayah masing-masing. Sementara itu pembangunan closed loop industri gula nasional terus dilakukan bersama BUMN Pangan dan asosiasi pelaku usaha guna mewujudkan ekosistem pangan nasional yang kuat dan berkelanjutan.
Di kesempatan yang sama Direktur Utama PT Sinergi Gula Nusantara (SGN)/Sugar Co Mahmudi mengungkapkan pihaknya bersama Kemenko Perekonomian tengah melakukan pengkajian model pembiayaan untuk membantu petani tebu mendapatkan modal yang terjangkau. Model pembiayaan khusus ini nantinya diharapkan akan dapat mempermudah petani untuk mendapatkan modal dengan bunga yang rendah yang akan diikuti dengan penyiapan 200 personil pendamping petani agar kegiatan di pangan bisa berjalan efektif dan efisien.
"Jadi nanti di samping penerapan model pembiayaan khusus, ke depan kami siapkan hingga 200 personil SGN untuk turun ke lapangan membantu dan mendampingi petani, sehingga bisa lebih efektif dan efisien," ungkap Mahmudi.
Selaras dengan Arief, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI) Soemitro Samadikoen yang hadir secara luring menjelaskan bahwa rendemen yang tinggi akan dapat menekan biaya produksi dan penurunan harga di konsumen. Menurutnya dengan rendemen mencapai 10% petani bisa menghasilkan 5 juta ton per tahun yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi dalam negeri 3 juta ton per tahun.
"Ini dari simulasi yang kita buat, tidak harus sampai 12, dengan rendemen 10 persen saja bisa memenuhi kebutuhan gula nasional dan menekan harga pokok produksi. Inilah salah satu upaya konkrit untuk meningkatkan kesejahteraan petani gula rakyat," jelas Soemitro.
Terakhir, Arief berpesan agar petani tetap semangat dan terus menanam selagi pemerintah memastikan harga yang baik bagi petani, pelaku usaha, dan masyarakat. Arief juga terus mendorong para pelaku usaha untuk membeli gula petani dengan harga yang wajar.
“Harga gula konsumsi di tingkat produsen saya imbau sekali lagi, minimal Rp 14.500/kg supaya petaninya senang dan bisa tetap menanam. Kemudian harga di hilirnya Rp 17.500/kg, di wilayah 3T sekitar Rp 18.500/kg, dan ini kita jaga bersama-sama,” kata Arief.