Ketua MPR: UUD 1945 Harus Bisa Atasi Kebuntuan Ketatanegaraan

Aliyudin Sofyan | Minggu, 18/08/2024 11:55 WIB
Ketua MPR: UUD 1945 Harus Bisa Atasi Kebuntuan Ketatanegaraan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (tengah). Foto: dok. katakini

JAKARTA – Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 harus bisa menjadi jalan keluar secara konstitusional untuk mengatasi kebuntuan ketatanegaraan atau constitutional deadlock demi menjaga keselamatan dan keutuhan berbangsa dan bernegara.

Demikian disampaikan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dalam memperingati Hari Konstitusi di Jakarta, Minggu (18/8/2024).

“idealnya konstitusi yang kita butuhkan adalah konstitusi yang transformatif, yaitu konstitusi yang memiliki visi dan refleksi masa depan,” kata Bambang Soesatyo.

Ia menegaskan, konstitusi yang transformatif tidak hanya mampu menjawab celah-celah dalam konstitusi, namun juga mampu menyediakan jalan keluar terhadap potensi-potensi persoalan ketatanegaraan di masa depan.

Menurutnya, amendemen UUD 1945, faktanya telah mengubah sistem ketatanegaaan secara fundamental, salah satunya adalah reposisi MPR yang tidak lagi berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara dengan segala kewenangan superlatif yang melekat padanya.

“Meskipun demikian, MPR masih memiliki kewenangan konstitusional tertinggi dalam hal mengubah dan menetapkan UUD, termasuk memberi putusan akhir pada proses pemkakzulan (impeachment) terhadap Presiden/Wakil Presiden,” tuturnya.

Kewenangan MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD pun, menurut Bambang Soesatyo, seharusnya bisa dimaknai bahwa MPR sebagai lembaga permusyawaratan berhak untuk melakukan koreksi terhadap hukum/aturan dasar tertinggi negara. Sehingga jalannya sistem ketatanegaraan Indonesia berjalan sesuai dengan Pancasila sebagai pemandu sekaligus dasar negara Indonesia.

Bambang Soesatyo mengatakan, sebagai satu-satunya lembaga yang berhak untuk mengubah dan menetapkan UUD, MPR pada dasarnya berhak pula untuk melakukan penataan kelembagaan ketetanegaraan Indonesia.

“Sebagai lembaga pembentuk konstitusi, MPR juga seharusnya berwenang untuk menjelaskan maksud dari tafsiran konstitusi yang dibentuknya dalam sidang judicial review di Mahkamah Konstitusi,” tegasnya.

Pada hakikatnya, lanjut Bambang Soesatyo, kehidupan ketatanegaraan dengan segala aspek fundamental dan institusi yang menopangnya, termasuk Konstitusi dan kelembagaan MPR, akan selalu dihadapkan pada tantangan dan perubahan. Karena konstitusi dan eksistensi MPR terikat oleh realitas zaman, maka adaptasi menjadi sebuah keniscayaan.

“Keduanya tidak boleh anti terhadap perubahan, karena cara pandang dan pemaknaan kita terhadap peradaban pun akan terus berkembang. Yang menjadi tugas kita adalah, memastikan bahwa setiap perubahan adalah menuju perbaikan,” katanya.