JAKARTA - Setiap tanggal 17 Agustus, seluruh Rakyat Indonesia memperingat hari kemerdekaan dengan sejarah perjuangan yang panjang. Saat ini semangat perjuangan untuk merdeka tersebut masih tetap dipertahankan oleh seluruh masyarakat yang tinggal di berbagai wilayah, baik komunitas pejuang pesisir seperti nelayan, perempuan nelayan, masyarakat adat, petambak garam, pembudidaya ikan, awak kapal perikanan, petani, buruh, hingga rakyat miskin kota.
Perjuangan yang mereka lakukan untuk merdeka dari berbagai kebijakan ekstraktif dan eksploitatif yang difasilitasi oleh negara kepada swasta dengan dalih peningkatan ekonomi lokal.
Sekretaris Jenderal Kiara (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), Susan Herawati menyebutkan bahwa kondisi nelayan saat ini sedang dalam titik nadir. Kebijakan ekstraktif dan eksploitatif baik yang tengah berjalan dan yang direncakan, tumpang tindih dengan ruang-ruang yang dikelola oleh masyarakat pesisir.
"Kebijakan-kebijakan yang saat ini disusun bahkan telah dilegalkan, menjadi alat untuk merampas ruang kelola nelayan dan masyarakat pesisir lainnya,” kata Susan melalui keterangan tertulis yang diterima, Minggu (18/8/2024).
Beberapa kebijakan tersebut seperti liberalisasi pertambangan pasir laut dengan dalih pengelolaan hasil sedimentasi di laut, liberalisasi eksploitasi sumber daya perikanan dengan dalih penangkapan ikan terukur, perampasan tanah adat karena belum adanya UU yang spesifik melindungi masyarakat adat, hingga perampasan ruang pesisir, laut dan pulau kecil dengan dalih integrasi tata ruang darat dan laut.
"Sudah 79 tahun Indonesia merdeka, akan tetapi selama 79 tahun tersebut pengakuan atas ruang hidup dan wilayah tangkap tradisional nelayan masih minim. Bahkan perempuan yang profesi sebagai nelayan masih sangat sangat minim diakui oleh negara,” katanya,
Ironinya lagi, lanjut Susan, sudah 79 tahun Indonesia merdeka akan tetapi pengakuan wilayah adat yang holistik mencakup darat dan laut masih sangat minim.
“Minimnya pengakuan tersebut secara langsung berpengaruh terhadap pelindungan dan pemenuhan hak-hak mereka sebagai nelayan, perempuan nelayan, dan masyarakat adat pesisir & pulau-pulau kecil yang berdaulat dan merdeka atas ruang hidupnya", tegas Susan
Kiara mencatat bahwa hingga 2024, telah terdapat 28 provinsi yang mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). Dari 28 provinsi tersebut, hanya 14 provinsi yang mengalokasikan ruang pemukiman nelayan dengan total luas 1.238,46 ha.
Sedangkan pengakuan masyarakat hukum adat melalui alokasi ruang hanya terdapat di 4 provinsi yaitu Aceh, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua Barat. Per Agustus 2024, telah terdapat 14 provinsi yang telah menetapkan dan mengundangkan Perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang telah diintegrasikan dengan Perda RZWP-3-K. Dari 14 provinsi tersebut tidak ada yang memberikan alokasi ruang untuk masyarakat adat di pesisir dan pulau-pulau kecil.