JAKARTA - Masa jabatan Pimpinan dan anggota MPR periode 2019-2024 akan berakhir pada 30 September 2024. Anggota MPR dari Kelompok DPD Jimly Asshiddiqie mengharapkan MPR periode 2019-2024 membuat rekomendasi kepada MPR Periode 2024-2029 untuk melakukan perubahan atau amandemen UUD NRI Tahun 1945.
Jimly mengatakan, amandemen UUD NRI Tahun 1945 itu bukan hanya menyangkut menghidupkan kembali PPHN tetapi menjadi evaluasi konstitusi menyeluruh, termasuk penataan kembali kelembagaan MPR, DPR, dan DPD.
“Pimpinan MPR perlu membuat rekomendasi kepada Pimpinan MPR yang akan datang mengenai pentingnya agenda perubahan UUD ini. Perubahan (amandemen) itu jangan hanya menyangkut soal menghidupkan kembali PPHN (GBHN) yang sudah disepakati fraksi di MPR selama dua periode terakhir. Tetapi harus mengevaluasi konstitusi secara menyeluruh, termasuk pentingnya penataan kembali kelembagaan MPR, DPR, dan DPD,” katanya pada seminar dalam rangka memperingati Hari Konstitusi di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen Jakarta, Minggu (18/8/2024).
Jimly memberi contoh MPR yang diidealkan para pendiri bangsa adalah penjelmaan seluruh rakyat yang merupakan penggabungan dari tiga sistem perwakilan, yaitu perwakilan politik (melalui partai), utusan daerah (perwakilan daerah di DPD), dan Utusan Golongan. Pada masa reformasi, Utusan Golongan ditiadakan.
“Eksistensi Utusan Golongan jangan dihilangkan. Karena itu muncul ide baru untuk menghidupkan kembali Utusan Golongan agar MPR benar-benar menjadi penjelmaan seluruh rakyat,” kata Guru Besar Hukum Tata Negara ini.
Selain itu, lanjut Jimly, kedudukan MPR bisa diperkuat sebagai forum aspirasi rakyat Indonesia. Dengan menjadi forum aspirasi rakyat maka rakyat tidak akan menggelar demo atau unjuk rasa di mana-mana, melainkan datang ke MPR untuk menyalurkan aspirasinya.
“Ini menjadi pekerjaan MPR yang akan datang sebagai Rumah Rakyat supaya aspirasi rakyat bisa tersalurkan karena MPR adalah Rumah Rakyat,” jelas mantan Ketua MK ini.
Jimly juga menyebutkan kewenangan MPR yang ada sekarang ini pun perlu diperbaiki. Misalnya, kewenangan melantik presiden dan wakil presiden dalam sidang paripurna.
“Padahal selama ini MPR tidak melantik Presiden dan Wakil Presiden. Pimpinan MPR hanya membuka sidang paripurna dan mempersilahkan Presiden dan Wakil Presiden mengucapkan sumpah-nya sendiri. Seharusnya, Pimpinan MPR juga memandu pelantikan dan pengucapan sumpah Presiden dan Wakil Presiden,” katanya.
Selain kewenangan yang sudah ada dalam UUD, Jimly memberikan saran mengenai Sidang Tahunan MPR yang sudah menjadi konvensi ketatanegaraan. Sidang Tahunan MPR harus dipisahkan dengan sidang paripurna DPR mendengarkan Nota Keuangan APBN.
“Sidang Tahunan ini berisi pidato kenegaraan Presiden menyambut HUT Kemerdekaan RI. Presiden pidato kenegaraan di depan sidang paripurna MPR. Sedangkan sidang penyampaian Nota Keuangan APBN yang menjadi forum DPR perlu dipisah waktunya dengan Sidang Tahunan MPR, bukan di waktu yang sama pada 16 Agustus. Ini tidak perlu diatur dalam UU, tetapi bisa menjadi praktik ketatanegaraan,” paparnya.
Sementara itu, dalam laporannya, Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal MPR, Siti Fauziah, mengatakan penyelenggaran seminar dalam rangka memperingati Hari Konstitusi bertema “Refleksi Ketatanegaraan: Quo Vadis MPR RI” ini dimaksudkan sebagai refleksi sekaligus proyeksi eksistensi MPR di masa depan.
“Melalui proses refleksi dan proyeksi ini diharapkan, kita dapat mengetahui apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan MPR, pelajaran baik di masa lalu yang harus kita pertahankan, dan pengalaman buruk yang harus kita tinggalkan," ujar Siti Fauziah.
Selain itu, kata Siti Fauziah, melalui seminar ini juga diharapkan kita dapat mengetahui kemana arah MPR di masa depan. “Kita senantiasa terbuka atas perkembangan ketatanegaraan Indonesia di masa depan,” tuturnya.
Menurut Siti Fauziah, perubahan kedudukan, wewenang dan tugas MPR sebagai akibat perubahan UUD NRI Tahun 1945 tidak mengurangi peran MPR sebagai lembaga negara yang mengemban visi sebagai Rumah Kebangsaan, Pengawal Ideologi Pancasila dan Kedaulatan Rakyat. “MPR tetap memiliki tugas yang mulia, yaitu membangun karakter bangsa melalui sosialisasi Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika,” katanya.
Namun, Siti Fauziah mengungkapkan setelah perjalanannya lebih dari 20 tahun sejak perubahan UUD, muncul berbagai aspirasi masyarakat yang menghendaki adanya pedoman dalam pembangunan nasional dalam bentuk Pokok-Pokok Haluan Negara, menghadirkan kembali unsur Utusan Golongan dalam komposisi keanggotaan MPR, dan lain sebagainya, yang layak dipertimbangkan.
“Dari seminar ini diharapkan melahirkan pemikiran yang komperatif dalam membahas arah serta masa depan MPR di dalam dinamika kebangsaan yang terus berkembang, memperkuat komitmen untuk menjaga konstitusi dan memperkokoh MPR sebagai lembaga negara yang dapat mengawal arah masa depan bangsa dengan lebih baik,” kata Siti Fauziah.