JAKARTA - Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek, menggelar Galanggang Arang 2024 yang difokuskan untuk anak-anak Sumatera Barat.
Kegiatan yang bertajuk “Galanggang Arang Pamenan Anak–Anak Sumatera Barat Merawat Warisan Dunia” ini diselenggarakan mulai tanggal 17-22 Agustus 2024 di Museum Adityawarman dan Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat.
Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kemendikbudristek, Irini Dewi Want, mengatakan bahwa tanggal pelaksanaan kegiatan ini bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ke-79 Republik Indonesia, sekaligus untuk merayakan dan mengenang perjuangan rakyat untuk kemerdekaan.
"Karenanya, helatan ini tidak hanya menginternalisasikan nilai tanggungjawab kolektif terhadap pelestarian budaya tapi juga untuk meneguhkan nilai-nilai nasionalisme yang inklusif dan kritis," kata Irina dalam keterangan resmi dikutip di Jakarta, Senin (19/8).
Disebutkan, kata “Pamenan” berasal dari bahasa Minang yang berarti permainan. Pamenan merupakan ruang jumpa bagi anak dan remaja untuk bermain dan belajar bersama.
"Dengan konsep bermain, belajar serta berkesenian, mereka sebagai aktor utama diajak untuk mengenal, menterjemahkan, dan merawat warisan budaya dunia sebagai sebuah kepemilikan. Tidak hanya itu, mereka juga dibawa untuk memahami bagaimana warisan dunia memiliki keterkaitan langsung dengan kehidupan mereka," kata Irini.
Irini menuturkan, Gelanggang Arang merupakan platform penguatan ekosistem budaya di kawasan Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto. Sementar itu, Pamenan Anak adalah wujud kesiapan komunitas budaya untuk meregenerasi kebudayaan di Sumatera Barat yang dimulai dengan pelibatan anak-anak sejak usia dini.
“Generasi muda adalah generasi penerus, sumber daya manusia yang penting mendapatkan perhatian serius di era globalisasi. Karenanya, generasi muda memiliki peran strategis untuk menyukseskan pembangunan nasional secara khusus dalam pemajuan kebudayaan,” katanya.
Sementara itu, Mahatma Muhammad, kurator Galanggang Arang, dalam catatan kuratorialnya menyebut bahwa Pamenan Anak mengusung pendekatan etnografi yang memusatkan perhatian pada narasi lokal. Hal ini bertujuan membalikan dominasi wacana kolonial yang sering meminggirkan perspektif masyarakat lokal dalam diskursus warisan dunia. Selain itu juga tidak melupakan isu-isu krusial seperti dampak lingkungan pasca tambang.
“Pengakuan WTBOS sebagai Warisan Budaya oleh UNESCO bukan hanya soal pengakuan atas nilai sejarah dan teknologi industri yang diwariskan. Namun juga soal kompleksitas narasi yang berpilih dengan dinamika sosial, budaya, dan lingkungan di Sumatera Barat. Sebab itu, penting melihat WTBOS sebagai integral dari identitas anak nagari yang kaya nilai-nilai budaya lokal, keberanian, dan kebersamaan,” ujar Mahatma.
Mahatma menambahkan, seluruh rangkaian kegiatan berupaya untuk mengajak anak-anak keluar dari persepektif kolonial menuju narasi lokal. Tujuannya untuk memperkuat rasa kepemilikan mereka terhadap sejarah dan budaya lokal sebagai sesuatu yang hidup dan dinamis.
“Melalui metode partisipatif, kreatif, interaktif dan inklusif, program ini merangkul partisipan dari kota Padang seperti pelaku budaya seni, sanggar tari anak, Forum Anak Sumatera Barat, siswa SMK Negeri 4 Padang, siswa PAUD, siswa disabilitas, dan lainnya,” ujar Mahatma.