Calon Tunggal Bukan Cara Terbaik Hargai Kedaulatan Rakyat

Eko Budhiarto | Senin, 02/09/2024 09:08 WIB
Calon Tunggal Bukan Cara Terbaik Hargai Kedaulatan Rakyat Adanya calon tunggal di Pilkada 2024 dianggap bukan cara terbaik menghatgai kedaulatan rakyat. (foto: Ilustrasi Pilkada Serentak 2024)

JAKARTA - Calon tunggal masih terjadi di beberapa wilayah pada momentum Pilkada 2024. Fenomena calon tunggal tidak boleh dibiarkan, bahkan dianggap wajar , demi perbaikan kualitas demokrasi pada masa mendatang.

“Meski kehadirannya sah dan konstitusional, calon tunggal itu bukan cara terbaik menghargai kedaulatan rakyat dan membangun demokrasi yang sehat,” kata Ketua The Constitutional Democracy Initiative Kholil Pasaribu dalam keterangannya, Minggu (1/9/2024).

Dia mengutarakan tiga cara mencegah terjadinya calon tunggal. Yakni:

1. Undang-Undang Pilkada harus memuat aturan ambang batas maksimal persentase jumlah suara partai atau gabungan partai.

Menurut dia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pilkada hanya mengatur ambang batas minimal persentase perolehan suara partai atau gabungan partai.

Dengan adanya pengaturan ambang batas maksimal, diharapkan dapat membatasi menumpuknya banyak partai dalam satu koalisi pencalonan.

2. Perlu diatur sanksi bagi partai atau gabungan partai yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon, tetapi memilih tidak mengajukan.

“Ketentuan ini sebagaimana halnya dalam pengajuan pasangan calon dalam pemilihan presiden,” ucap Kholil.

3. Pakerlu penataan ulang soal keuangan politik agar biaya politik yang harus ditanggung oleh calon, partai, maupun gabungan partai lebih rasional dan bisa dipertanggungjawabkan.

Diakui Kholil, putusan MK yang menyederhanakan ambang batas pilkada berdampak pada penurunan jumlah calon tunggal dalam pilkada serentak tahun ini.

Hingga berakhirnya masa pendaftaran pasangan calon Pilkada 2024 pada 29 Agustus lalu, terdapat 43 daerah yang bercalon tunggal dari 545 daerah atau setara 7,89 persen.

Sementara itu, jika dilihat secara akumulasi pelaksanaan pilkada serentak sejak 2017–2020, yang mana jumlah daerah yang melaksanakan pilkada sama banyaknya dengan pelaksanaan pilkada tahun ini, total calon tunggalnya adalah sebanyak 50 atau setara 9,17 persen.

“Ini artinya jika dibandingkan dengan Pilkada 2024, terjadi penurunan sebesar 1,28 persen jumlah daerah bercalon tunggal,” katanya.

Kholil mengatakan, penurunan ini merupakan hal positif karena semakin sedikit daerah yang bercalon tunggal, maka semakin baik bagi masyarakat dan sehat bagi demokrasi.

“Karena hak konstitusional warga untuk mendapatkan banyak alternatif calon pemimpin mereka terpenuhi. Sebab bagaimanapun, masyarakat daerah itulah yang akan merasakan dampak dari hasil pemilihan setidaknya untuk masa lima tahun,” tuturnya.

Putusan MK, imbuh Kholil, memang berpengaruh terhadap peta pencalonan kepala daerah. Hanya saja, pengaruh tersebut belum meluas terjadi di banyak daerah.