JAKARTA - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menilai laporan inflasi pada Agustus 2024 yang tercatat 2,12 persen secara tahunan (yoy) menjadi sinyal bahwa harga pangan tetap terkendali.
Inflasi tahunan Agustus 2024 lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 2,13 persen (yoy), dan di periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat 3,27 persen (yoy).
Kepala BKF Febrio Kacaribu di Jakarta, Selasa (3/9/2024), mengatakan inflasi yang bergerak stabil didorong oleh penurunan sebagian besar harga pangan.
“Terkendalinya harga pangan diharapkan menjadi sinyal positif bahwa harga pangan semakin terjangkau oleh masyarakat. Meskipun demikian, Pemerintah tetap mewaspadai potensi risiko musim kemarau yang dapat berdampak pada produksi beras dan hortikultura,” kata Febrio.
Ia menyampaikan koordinasi Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) terus dilanjutkan untuk menjaga stabilitas harga serta mengantisipasi potensi kebencanaan dan cuaca ekstrem.
Selain itu, komunikasi efektif terus dilakukan untuk mendukung terjaganya ekspektasi inflasi.
Menurut komponen, inflasi inti (core inflation) mengalami kenaikan menjadi sebesar 2,02 persen (yoy). Peningkatan ini didukung kenaikan inflasi pada kelompok pakaian dan alas kaki, perumahan, rekreasi dan perawatan pribadi, termasuk emas.
Kemudian inflasi harga diatur pemerintah (administered price) tercatat mengalami kenaikan menjadi sebesar 1,68 persen (yoy) didorong oleh kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi dan rokok.
Sementara itu, inflasi harga bergejolak (volatile food) melanjutkan tren penurunan, tercatat 3,04 persen (yoy).
Febrio menilai penurunan harga pangan terutama didorong oleh pasokan yang melimpah seiring dengan masa panen serta turunnya biaya produksi seperti pakan jagung.
“Beberapa komoditas yang tercatat mengalami penurunan harga, di antaranya bawang merah, daging ayam ras, tomat dan telur ayam ras,” jelasnya.
Sementara itu, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 tercatat kontraksi di level 48,9.
Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari menurunnya kinerja sektor manufaktur global di tengah tekanan permintaan.
“Pelemahan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, Kawasan Eropa dan Amerika harus semakin diantisipasi ke depannya,” ujarnya.
Aktivitas manufaktur negara mitra dagang dan kawasan ASEAN juga mengalami tantangan yang sama, antara lain Amerika Serikat (48,0) dan Jepang (49,8).
Negara tetangga seperti Malaysia dan Australia juga kembali mencatatkan PMI manufaktur yang terkontraksi masing-masing pada level 49,7 dan 48,5.
Di tengah perlambatan PMI Indonesia, optimisme masih terjaga dengan kinerja sejumlah leading industry di tanah air.
Industri makanan dan minuman serta kimia farmasi hingga kuartal II 2024 konsisten tumbuh di atas 5 persen (yoy).
Bahkan, industri logam dasar tumbuh hingga 18,1 persen seiring proses hilirisasi yang semakin menunjukkan hasil.
Kendati demikian, lanjut Febrio, perhatian harus terus diberikan untuk lagging industry yang menghadapi tantangan berat.
“Industri padat karya seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dan Alas Kaki saat ini tengah menghadapi tantangan berat. Tidak hanya dari sisi kinerja ekspor, namun juga daya saing di pasar domestik yang tergerus produk impor. Pemerintah terus berupaya mendorong daya saing industri seperti ini dengan berbagai bauran kebijakan.” ujarnya.
Sebagai langkah menjaga daya saing produk TPT, Pemerintah telah menerapkan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP), di antaranya untuk Pakaian dan Asesori Pakaian sampai dengan November 2024; Tirai, Kelambu Tempat Tidur, serta Benang dari Serat Staple Sintetik dan Artifisial sampai dengan Mei 2026; Kain dan Karpet sampai dengan Agustus 2027.
Selain itu, diterapkan juga Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk produk Poliester Staple Fiber (benang) dari India, Tiongkok, dan Taiwan sampai dengan Desember 2027.
“Kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi dan meningkatkan daya saing industri TPT dalam negeri yang memiliki serapan tenaga kerja besar,” ucap Febrio.