JAKARTA – Program makan bergizi gratis (MBG) yang merupakan prioritas pemerintahan baru mendatang tidak hanya sekadar membangikan makanan kepada siswa sekolah dan ibu-ibu hamil. Lebih dari itu, program ini bila dikelola dengan baik bisa melahirkan ekosistem rantai pasok ekonomi berbasis lokal yang akan memberikan dampak besar pada masyarakat.
“Makan bergizi gratis dijalankan dengan membangun ekosistem hulu hilir yang terkoneksi semua. Ini akan berdampak besar, mengentaskan kemiskinan, menyerap lapangan kerja, dan menciptakan kemandirian nasional,” ungkap Guntur Subagja Mahardika, Ketua Center for Strategic Policy Studies (CSPS) Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, dalam Strategic Business Forum (SBF) di kampus UI Salemba, 17-18 September 2024.
Masyarakat sangat berharap pemerintahan baru mendatang mampu membangun kemandirian pangan dengan mengoptimalkan potensi sumber daya lokal dan keuangan ekonomi lokal. Jadi desa-desa akan tumbuh dan generasi muda desa tidak migrasi ke kota tapi berkarya di desanya masing-masing.
“Ini membangun Indonesia dari desa. Bila desa-desa maju, otomatis Indonesia akan menjadi negara maju,” dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Kamis (19/9/2024).
Menurut Guntur, dengan memperkuat ekonomi kerakyatan, maka bonus demografi dapat tersalurkan pada lapangan kerja di desa-desa, yang berbasis kearifan lokal seperti pertanian, perikanan, umkm, dan ekonomi kreatif.
Generasi muda diharapkan memiliki jiwa kewirausahaan sehingga mampu mengelaborasi potensi-potensi yang ada di desanya masing-masing.
Kepala Badan Gizi Nasional Prof Dr Ir Dadan Hindayana dalam Strategic Policy Forum menjelaskan konsep dan implementasi makan bergizi gratis.
Dalam tayangan video yang ditayangkan pada acara tersebut, Prof Dadan menjelaskan bahwa Badan Gizi akan berkoordinasi dengan semua lembaga dan Kementerian terkait.
Diantaranya penyediaan suplai pangan menjadi ranahnya Kementerian Pertanian, protein yang bersumber dari ikan koordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan ekosistem ekonomi yang dibangun juga basisnya adalah koperasi, yang menjadi ranah Kementerian Koperasi dan UKM.
Prof Dadan menjelaskan dirinya sudah melakukan pilot project sejak Januari 2024 hingga sekarang masih berjalan. Di lahan seluas 15 hektar menanam padi dengan pupuk hayati (bio fertilizer), hasil panennya masuk ke Unit Pelayanan diproduksi menjadi beras, dan berasnya dikonsumsi oleh siswa sekolah. Begitu juga telor, daging, dan sumber protein lainnya diproduksi sendiri.
“Jadi yang dimakan anak-anak sekolah itu adalah beras dari sawah kita sendiri, jadi sirkular ekonomi terbangun,” ungkapnya.
Ia memaparkan untuk 3000 anak sekolah membutuhkan beras 200 kilogram per hari. Membutuhkan 350 kilogram daging ayam setiap hari atau membutuhkan 3200 telor, membutuhkan sayur 350 kilogram.
“Bisa dibayangkan petani yang tadinya menjual hanya satu dua ikat, permintaannya jadi banyak,” tuturnya.
Di situ juga melahirkan agen telur karena kebutuhan telur setiap hari.
“Begitu juga susu, untuk 3100 anak dibutuhkan 600 liter susu setiap hari. Kalo produktivitas sapi itu 10 liter dibutuhkan 60 sapi,” paparnya.
Susu ini diharapkan diproduksi lokal. Dalam jangka panjang, sebutnya, bukan mengimpor susu tapi mengimpor sapinya untuk memproduksi susu di dalam negeri.
Dalam satu unit pelayanan membutuhkan 60 ekor sapi, dalam satu kabupaten akan banyak peternakan sapi yang bisa mensuplai kebutuhan lokal.
Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI Athor Subroto, Ph.D Strategic Policy Forum untuk melahirkan ide atau gagasan untuk mendukung program-program dalam memajukan bangsa.
"Ini adalah salah satu upaya dari kami untuk terus membuat awareness kita terhadap masyarakat yang kita tuju," kata Athor.