JAKARTA – Legislator Komisi VII merekomendasikan pembentukan Pansus replanting (peremajaan) kebun kelapa sawit kepada anggota DPR periode 2025-2029. Pansus ini dinilai sangat diperlukan karena replanting sawit ternyata menyulitkan para petani.
“Kita akan membuat rekomendasi untuk teman-teman (DPR) periode selanjutnya. Apakah (persoalan peremajaan) ini perlu ditingkatkan menjadi pansus karena ini terkait dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Perindustrian. Jadi memang ini (perlu) ada keterkaitan dengan tiga komisi,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Maman Abdurrahman seperti dilansir dpr.go.id, Sabtu (21/9/2024).
Replanting atau peremajaan kebun sawit merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mewujudkan keberlanjutan di industri sawit, sekaligus meningkatkan hasil kebun dan kualitas buah sawit tanpa membuka lahan baru.
Peremajaan kebun sangat dianjurkan untuk dilakukan pada perkebunan kelapa sawit yang telah mencapai usia puncak, yaitu sekitar 25 tahun.
Solusi itu, kata Maman, sangat penting dilakukan mengingat akibat negatif dari terhambatnya proses replanting ini sangat krusial.
Selain berdampak langsung pada produktivitas sawit, juga akan mempengaruhi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hal itu mengingat sawit adalah salah satu PNBP terbesar di Indonesia.
“Pada saat mereka (petani) ingin melakukan penanaman ulang (peremajaan), mereka terkendala dengan aturan-aturan yang memang dibuat. Nah ini menghambat produktivitas peningkatan produksi kelapa sawit itu. Dampaknya kemana? dampaknya kepada peningkatan menurunnya pendapatan negara dari kelapa sawit itu. Tadi teman-teman koperasi menyampaikan pengajuan penanaman ulang atau bahasa kerennya replanting itu, pengajuan sudah hampir 1 tahun lebih. Ada yang tiga tahun,” jelas Maman.
Maman pun mengingatkan, harusnya regulasi mengenai replanting tidak hanya melibatkan Kementerian Pertanian dan (Kementerian) Lingkungan Hidup untuk memperhitungkan aspek lingkungan saja, tetapi juga melibatkan pertimbangan dari sisi ekonomi dan industri. Sehingga petani sawit tidak merasa dirugikan dengan aturan-aturan yang berlaku.
“Kalau kondisi lahan yang sudah cukup tua, lebih dari 20 tahun, yang secara konsekuensi pasti kan harus ditanam ulang. Nah, logika sederhana saya, kalau sudah kalau tanam ulang seharusnya simpel aja kan, mereka sudah punya izin, mereka sudah punya lahan, dan itu juga diketahui oleh pemerintah dan lain sebagainya. Jadi seharusnya secara aturan tidak perlu terlalu banyak, tidak perlu terlalu mempersulit. Nah tinggal diamankan bagaimana cara tanam ulang yang baik dan benar,” pungkasnya.