JAKARTA – Sebuah lembaga kajian ekonomi, Bright Institute, menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) gagal menurunkan angka kemiskinan ekstrem selama 10 tahun masa kepemimpinannya.
“Tingkat kemiskinan atau persentase penduduk miskin diproyeksikan menurun tiap tahun pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yang ditetapkan Jokowi pada awal pemerintahannya. Ditargetkan akan sebesar 7,5% pada 2019. Namun, realisasinya hanya sebesar 9,41%,” kata ekonom Bright Institute, Awalil Rizky dalam webinar “Kegagalan Jokowi Mengatasi Kemiskinan dan Kemiskinan Ekstrem” yang disiarkan melalui zoom, Selasa (24/9/2024).
Target tingkat kemiskinan diiturunkan pada periode kedua Jokowi dalam RPJMN 2020-2024. Diproyeksikan sebesar 6,5% pada 2024. Diperburuk oleh terjadinya pandemi covid, maka realisasi hanya sebesar 9,03%.
Target yang ditetapkan tiap tahun melalui Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) pun sering tidak tercapai. Sebagai contoh, Nota Keuangan dan APBN 2024 menargetkan angka sebesar 6,5-7,5%, sedangkan realisasinya hanya 9,03%.
“Data perkembangan tingkat kemiskinan dari Badan Pusat Statistik memang menunjukkan tingkat kemiskinan sedikit menurun pada era Jokowi. Namun jauh lebih lambat dibanding era sebelumnya,” kata Awalil Rizky.
Khusus periode kedua Jokowi, tingkat kemiskinan memang sedikit menurun sebesar 0,38% poin. Namun dilihat dari jumlah absolutnya justeru bertambah sebanyak 80 ribu orang.
Pada awal periode kedua Jokowi dikedepankan tingkat kemiskinan ekstrem, yang pengurangannya menjadi agenda prioritas pemerintah. Bahkan, Jokowi menyampaikan arahan dalam rapat terbatas mengenai strategi percepatan pengentasan kemiskinan pada 4 Maret 2020 bahwa kemiskinan ekstrem ditargetkan turun menjadi nol persen pada 2024.
Bright Institute berpandangan bahwa sebab utama kemiskinan ekstrem dikedepankan Pemerintah adalah kegagalan pencapaian target tingkat kemiskinan yang biasa pada periode pertama.
RPJMN 2020-2024 pun belum mencantumkan target kemiskinan ekstrem. Penetapan RPJMN melalui Peraturan Presiden dilakukan bulan januari, sedangkan arahan Jokowi tentang ini beberapa waktu setelahnya. Nota Keuangan dan APBN pun baru mencantumkan pada tahun 2024 dan 2025.
“Ditargetkan APBN 2024 sebesar 0-1% dan terealisasi sebesar 0,83%. Namun ukuran atau standar kemiskinan ekstrem yang dipakai cukup meragukan,” ujarnya.
Kajian Bright Institute menemukan beberapa perbedaan sekaligus perubahan ukuran dalam publikasi BPS. Penyajian data terkini adalah pada saat rapat dengan DPR tanggal 28 Agustus 2024. Data series memperlihatkan perbedaan signifikan dengan publikasi BPS terdahulu.
Terdapat indikasi pemakaian standar atau ukuran kemiskinan ekstrem yang tidak konsisten, seolah memaksakan agar memenuhi target Jokowi.
“Pada dasarnya, BPS dan Pemerintah tidak tahu persis siapa, dimana dan kondisi sebenarnya dari penduduk miskin dan miskin ekstrem. Sumber data utamanya adalah survei, yaitu susenas. Informasi lain melalu aparat desa dll tidak dipergunakan untuk data agregat nasional,” pungkas Awalil Rizky.