• News

Bright Institute: Deindustrialisasi Dini Faktor Jatuhnya Kelas Menengah

Aliyudin Sofyan | Rabu, 02/10/2024 06:07 WIB
Bright Institute: Deindustrialisasi Dini Faktor Jatuhnya Kelas Menengah Diskusi Bright Institute bertema Jokowi Gagal Membangun Sektor Industri di Jakarta, Selasa (1/10/2024). Foto: flyer brigt institute

JAKARTA – Bright Institute, lembaga riset ekonomi, merilis hasil studi terbaru yang mengungkap fenomena deindustrialisasi dini sebagai faktor penurunan kelas menengah di Indonesia.

Dalam diskusi webinar yang dilaksanakan pada Senin (1/10/2024), Bright Institute menilai pemerintahan Jokowi gagal membangun sektor industri dalam satu dekade terakhir.

Muhammad Andri Perdana, Direktur Riset Bright Institute, menjelaskan, "Turunnya porsi industri manufaktur terhadap PDB, redahnya pertumbuhan sektor industri dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata, rendahnya jumlah serapan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi, tingginya nilai ICOR pada sektor manufaktur, perkembangan PMI Manufaktur yang kerap melemah, menjadi indikator kegagalan pemerintahan dua periode terakhir dalam membangun sektor industri."

Andri menjelaskan bahwa dalam konteks pembangunan ekonomi Indonesia menuju negara maju, kematangan sektor industri manufaktur bersifat krusial karena sektor inilah yang menjadi fondasi lahirnya kelas menengah dan mengembangkan sektor turunannya. Jika sektor industri ini terlanjur redup sebelum tingkat pendapatan masyarakat tinggi, maka tenaga kerja akan berkerumun ke sektor jasa bernilai rendah (low value-adding services) sebagaimana sekarang terjadi.

"Evaluasi ini tidak menyimpulkan bahwa proses deindustrialisasi sepenuhnya diakibatkan oleh pemerintahan Jokowi." lanjut Andri.

"Namun yang menjadi evaluasi besarnya adalah selama masa periode Jokowi, bonus demografi yang dialami dari awal hingga akhir kepemimpinan seharusnya menjadi fondasi struktur ketenagakerjaan yang melahirkan kelas menengah yang memiliki produktivitas tinggi, terutama dari perkembangan sektor manufaktur, sehingga dapat menopang struktur demografi selanjutnya. Sayangnya, perencanaan dan implementasi kebijakan pemerintah gagal memprioritaskan aspek ini. Akibatnya, generasi mendatang jauh lebih sulit lagi untuk mencapai status kelas menengah."

Andri menjabarkan bahwa kegagalan ini berakar dari paradigma `hilirisasi` yang terlalu bertumpu pada kepentingan tingkat retur modal, terutama modal asing, secara parsial pada subsektor tertentu yang tidak padat karya untuk kepentingan ekspor. Akibatnya, tidak tercipta penyerapan tenaga kerja yang mampu melahirkan banyak kelas menengah.

 “Padahal, selama sepuluh tahun terakhir, subsektor manufaktur yang kontribusinya terhadap PDB meningkat paling besar adalah industri pengolahan yang melayani pasar domestik sendiri, bukan ekspor,” tambahnya.

"Di sisi lain, tingkat ICOR sektor manufaktur bertambah tinggi melebihi sektor lain, kecuali sektor jasa bernilai tinggi. Ini menyebabkan sedikitnya modal yang bergerak ke jenis industri pengolahan yang tidak disuntik oleh modal asing, terutama pada manufaktur yang memiliki penyerapan tenaga kerja tinggi, manufaktur yang sangat dipengaruhi oleh eksposur produk impor, manufaktur produk konsumsi yang sangat dipengaruhi daya beli, serta manufaktur yang bertentangan dengan kepentingan industri bermodal lebih besar," papar Andri.

Awalil Rizky, Ekonom Senior Bright Institute, menambahkan, "Fenomena ini menunjukkan pentingnya reorientasi kebijakan industri yang lebih inklusif dan berorientasi pada penciptaan lapangan kerja berkualitas untuk memperkuat kelas menengah Indonesia."

 Awalil menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap strategi industrialisasi nasional untuk mencegah dampak lebih lanjut dari deindustrialisasi dini terhadap struktur ekonomi dan sosial Indonesia.