JAKARTA – Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) menyatakan, program Makan Bergizi Gratis (MBG) akan menggerakkan ekonomi, khususnya di sektor hulu pangan. Program MBG menciptakan standby buyer yang menyejahterakan petani dan peternak lokal.
"Kita mau terima kasih dengan program MBG, ini pastinya ekonomi akan semakin bergerak. Jadi yang tadinya tidak ada standby buyer atau offtaker yang pasti, sekarang bisa menjadi lebih pasti. Jadi nanti dapur-dapur MBG itu akan terhubung dengan hulu, sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan petani dan peternak lokal," kata Kepala NFA Arief Prasetyo Adi dalam panel diskusi di Jakarta, Rabu (9/10/2024).
"Ke depannya tidak ada lagi yang buang-buang cabai, telur atau ayam, akibat saking berlebihnya stok. Nanti bisa diserap MBG. Ini baik sekali. Apalagi kalau nanti full speed sampai 82,5 juta orang per hari, bahkan sampai dua kali per hari. Luar biasa, kita harus siap. Nanti dampak ikutannya akan banyak. Daerah rawan rentan pangan bisa makin berkurang. Tingkat stunting juga bisa turun sampai 1 digit," sambungnya.
"Dengan itu, mengintegrasikan antara hulu sampai dengan hilir, ini menjadi sangat penting, karena pada saat produksi berlebihan lalu harga jadi jatuh, itu pemerintah disalahkan. Apalagi kalau produksi kurang? Oleh karena itu, patutnya kita semua sebagai bangsa wujudkan ekosistem di bidang pangan yang produksinya ikut dengan yang diinginkan market," tandasnya.
Menurut Arief, pemenuhan program hilirisasi seperti MBG perlu mengutamakan pasokan dalam negeri. Dengan itu akan berimplikasi pada akselerasi kesejahteraan produsen tanaman pangan di dalam negeri. Terlebih menurut Badan Pusat Statistik (BPS), di 2023 jumlah usaha petani perorangan tanaman pangan mencapai 15,7 juta atau 89 persen dari total 17,5 juta. Selebihnya bergerak di tanaman holtikultura dan perkebunan.
Rerata pendapatan pertanian perorangan di 2023 pun mengalami eskalasi hingga 4 kali lipat dibandingkan 2021. Di 2023, menurut BPS, rata-rata pendapatan usaha pertanian perorangan di Indonesia adalah Rp 66,82 juta per tahun. Sementara di 2021, rata-rata unit usaha pertanian perorangan memperoleh pendapatan sebesar Rp 15,41 juta dalam setahun.
"Ke depannya ini, bukan sebuah transisi pemerintahan, tapi ini adalah keberlanjutan. Kami di Badan Pangan Nasional hari ini mendukung dan membantu Badan Gizi Nasional, misalnya dalam mempersiapkan SOTK (Struktur Organisasi dan Tata Kelola)," terang Arief.
"Dalam MBG itu kita sudah usulkan agar ada aspek keberagaman yang berbasis pangan lokal pula. Itu sudah ada di Perpres 81 tahun 2024. Jadi nanti saat memberikan pangan bergizi, itu bisa disesuaikan dengan local source. Misalnya di Indonesia Timur itu sumber proteinnya ikan, jadi pakai ikan saja untuk proteinnya. Tak harus daging," cetusnya.
Skema optimalisasi hasil produksi kearifan pangan lokal setempat dapat memberikan kepastian produksi yang terserap oleh program pemerintah. Ini akan berefek pula pada kesejahteraan petani. Jika menilik data Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (NTPP), Nilai Tukar Petani Hortikultura (NTPH), dan Nilai Tukar Petani Peternakan (NTPT), selama ini pemerintah dapat terus menjaga tren indeksnya berada lebih dari 100 poin.
Indeks NTPP selalu lebih dari 100 sejak Oktober 2022, sementara NTPH sejak Februari 2022 terus konsisten berada lebih dari 100. Begitu pula, NTPT sejak Maret 2023. Di 2024 ini, ketiga indeks tersebut menorehkan titik kulminasinya dalam 2 tahun terakhir. Pada Februari 2024, NTPP tertinggi tercatat di 120,30 dan NTPH tertinggi pada Juni 2024 di 125,66. Sementara NTPT tertinggi ada di Juni 2024 dengan 104,81.
Terakhir, Kepala NFA Arief Prasetyo Adi meminta segenap stakeholder pangan saling bersinergis dan untuk BUMN pangan dapat semakin diperkuat peranannya terkait Cadangan Pangan Pemerintah (CPP).
"Mari kita hand in hand mulai hari ini. Fokus pada produksi yang banyak dan cadangan pangan juga. Kita perpanjang masa simpan pangan dengan sarana prasarana cold chain. Ini sudah kami lakukan," bebernya.
"Bagaimana dengan BUMN pangan? Saya berharap harus ada injection, harus disiapkan dananya untuk menyerap produksi pangan. Lagipula dana ini bukan habis pakai atau spending saja. Dana ini kita pakai untuk stok CPP karena sangat penting punya CPP yang kuat. Kalau produksi berlebih, kita serap dengan harga yang baik menjadi CPP. Kalau masih berlebih lagi, kita bisa ekspor," pungkasnya.