JAKARTA – Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi mengatakan, upaya menjaga ketersediaan pangan harus dibarengi dengan perbaikan kualitas gizi masyarakat.
"Hari Pangan Sedunia (HPS) yang baru saja kita peringati tanggal 16 Oktober, menjadi momentum yang baik bagi kita untuk meningkatkan kesadaran dan inisiatif untuk membangun ketahanan pangan yang lebih baik. Upaya perbaikan gizi masyarakat, misalnya melalui fortifikasi, ini selaras dengan upaya mewujudkan hak atas pangan untuk hidup lebih baik, sesuai tema yang diusung pada peringatan HPS tahun ini," ujar Arief dalam keterangannya, Kamis (17/10/2024) di Jakarta.
Stunting menjadi salah satu bentuk malanutrisi kronis yang membutuhkan perhatian pemerintah. Upaya fortifikasi turut mendukung perbaikan gizi yang pada akhirnya berkontribusi pada penurunan stunting.
"Kami di Badan Pangan Nasional telah menyusun Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk kernel beras fortifikasi dan akan melanjutkan dengan penyusunan SNI beras fortifikasi. Ini akan menjadi acuan, baik untuk produksi sukarela maupun program bantuan pangan yang diberikan oleh pemerintah," ujar Arief.
Ia berharap penerapan standar ini akan mempermudah para pemangku kepentingan dalam mengembangkan dan mengadopsi fortifikasi pangan di Indonesia. Fortifikasi pangan merupakan salah satu langkah penting untuk memperkuat status gizi masyarakat dan mendukung pencapaian ketahanan pangan nasional.
Dalam Seminar dan Workshop tentang `Peran Fortifikasi dalam Meningkatkan Kualitas Pangan` yang diselenggarakan oleh Civitas Akademisi Universitas Jember (UNEJ) pada Rabu, (16/10/2024) di Auditorium UNEJ, Direktur Perumusan Standar Keamanan dan Mutu Pangan NFA sekaligus Pelaksana Harian (Plh) Deputi Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan NFA, Yusra Egayanti menekankan bahwa beras fortifikasi memiliki peran strategis dalam menangani stunting.
“Beras fortifikasi tidak hanya menjadi sumber karbohidrat, tetapi juga diperkaya dengan berbagai zat gizi mikro seperti vitamin A, B1, B6, B12, asam folat, zat besi, dan zinc. Dengan kandungan nutrisi tersebut, beras ini bisa membantu menurunkan angka stunting di Indonesia,” ujar Yusra.
Ia juga menjelaskan bahwa stunting merupakan masalah yang kompleks dengan berbagai faktor penyebab, termasuk pola asuh, keamanan pangan, dan kekurangan zat gizi mikro. Oleh karena itu, fortifikasi pangan dinilai sebagai salah satu solusi konkret untuk memenuhi kebutuhan zat gizi mikro masyarakat dan mencegah stunting.
“Fortifikasi pangan bisa dilakukan melalui dua cara, yaitu biofortifikasi yang dimulai sejak proses budidaya dan fortifikasi tambahan di mana mikronutrien ditambahkan pada beras analog. Saat ini, biofortifikasi zinc sudah mulai dikembangkan di sektor pangan segar,” tambah Yusra.
Dalam seminar yang sama, Rektor Universitas Jember Iwan Taruna menyatakan bahwa peningkatan kualitas gizi dan ketahanan pangan merupakan faktor kunci dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045. Teknologi inovatif seperti fortifikasi pangan menjadi sangat penting untuk mencapai target tersebut.
“Kita masih melihat kasus stunting di berbagai daerah. Jika masalah ini tidak segera diatasi, akan sulit bagi kita mencapai Indonesia Emas 2045. Sebuah visi Indonesia maju, sejahtera, dan berdaya saing tinggi,” kata Iwan.
Ia juga mengapresiasi upaya NFA dalam mendorong pengembangan beras fortifikasi dan berharap lebih banyak bahan pangan lain yang dapat di fortifikasi tanpa mengubah sifat dasar produk tersebut.
“Mungkin saat ini kita fokus pada beras karena beras adalah makanan pokok. Tetapi ke depannya, tidak menutup kemungkinan akan ada fortifikasi pada bahan pangan lain dengan tujuan memperkaya kandungan nutrisinya. Selama sifat dasar pangan tidak berubah, saya yakin masyarakat akan menerima produk ini dengan baik,” jelasnya.