JAKARTA - Aksi Kamisan merupakan sebuah aksi damai yang dilakukan setiap hari Kamis oleh para keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Dimulai sejak tahun 2007, aksi ini dilakukan di depan Istana Merdeka, Jakarta, dengan tujuan menuntut keadilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan.
Peserta aksi Kamisan berdiri dalam diam sambil mengenakan pakaian serba hitam dan membawa payung hitam sebagai simbol duka dan perlawanan.
Sejarah Lahirnya Aksi Kamisan
Aksi Kamisan pertama kali dilakukan pada 18 Januari 2007 oleh keluarga korban pelanggaran HAM. Gagasan aksi ini muncul sebagai respons atas lambannya proses penegakan hukum atas berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia, terutama yang terjadi pada masa Orde Baru.
Para peserta awal aksi ini, seperti keluarga Marsinah, Munir Said Thalib, dan aktivis-aktivis yang hilang di era 1997-1998, berharap agar aksi diam mereka menjadi simbol perlawanan untuk menuntut keadilan yang belum mereka dapatkan.
Aksi Kamisan berawal dari keinginan Sumarsih, ibu dari Wawan (salah satu korban tragedi Semanggi), untuk terus menuntut keadilan bagi anaknya dan bagi semua korban yang mengalami nasib serupa.
Bersama dengan keluarga korban lainnya, ia berdiri di depan Istana Merdeka setiap hari Kamis, menantang negara untuk memenuhi hak-hak para korban yang belum terselesaikan hingga kini.
Makna Payung Hitam dan Warna Hitam dalam Aksi Kamisan
Dalam setiap aksi Kamisan, para peserta mengenakan pakaian serba hitam dan membawa payung hitam. Warna hitam dan payung yang dibawa bukanlah pilihan yang sembarangan. Hitam adalah simbol duka, ketabahan, dan perlawanan.
Warna hitam mewakili rasa kehilangan yang mendalam dan keinginan untuk mengingat para korban yang hilang atau tewas akibat pelanggaran HAM.
Payung hitam dalam aksi ini juga berfungsi sebagai simbol perlindungan dari ketidakadilan, sekaligus menunjukkan perlindungan spiritual yang tak terlihat atas perjuangan mereka.
Payung yang menaungi para peserta menjadi simbol bahwa mereka berdiri dengan kekuatan hati, menghadapi segala tantangan dalam diam.
Tujuan dan Tuntutan Aksi Kamisan
Aksi Kamisan menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang belum tuntas. Beberapa kasus yang diangkat dalam aksi ini meliputi:
1. Tragedi 1965: Kasus pembantaian massal yang terjadi setelah percobaan kudeta G30S, yang menewaskan ratusan ribu orang yang dianggap terlibat dengan komunisme.
2. Kasus Trisakti dan Semanggi I & II: Penembakan terhadap mahasiswa yang terjadi pada masa reformasi (1998), yang hingga kini belum mendapat kejelasan hukum.
3. Penghilangan Paksa Aktivis 1997-1998: Kasus penghilangan aktivis yang menuntut reformasi di akhir masa Orde Baru.
4. Kematian Munir Said Thalib: Kasus pembunuhan Munir pada tahun 2004 yang hingga kini dalang utamanya belum terungkap.
5. Kasus Tanjung Priok dan Talangsari: Kasus-kasus penembakan massal terhadap masyarakat yang dianggap menentang pemerintah pada era Orde Baru.
Para keluarga korban dan aktivis yang terlibat dalam aksi Kamisan berharap agar pemerintah bersedia membuka kembali kasus-kasus tersebut dan membawa para pelaku pelanggaran HAM berat ke pengadilan. Mereka juga menuntut adanya keadilan serta pemulihan bagi keluarga korban.
Aksi Kamisan sebagai Simbol Perjuangan HAM
Aksi Kamisan telah menjadi simbol perjuangan hak asasi manusia di Indonesia. Tidak hanya di Jakarta, aksi serupa juga dilakukan di beberapa kota lain, seperti Bandung, Yogyakarta, Malang, Surabaya, hingga kota-kota internasional seperti Amsterdam dan Den Haag.
Dalam beberapa kesempatan, Aksi Kamisan juga mendapatkan dukungan dari para tokoh nasional dan internasional, mulai dari aktivis, mahasiswa, hingga tokoh agama.
Aksi ini menjadi bukti nyata ketabahan keluarga korban yang tidak henti-hentinya menuntut keadilan, meski telah berlangsung lebih dari satu dekade. Di tengah kesunyian aksi ini, ada pesan kuat bahwa mereka tidak akan melupakan dan tidak akan menyerah.