JAKARTA - Pedagang kaki lima (PKL) merupakan istilah yang sangat populer di Indonesia yang merujuk pada penjual yang berjualan di tepi jalan, trotoar, atau area publik lainnya. Meskipun istilah ini umum digunakan, tidak semua orang tahu asal-usul dan alasan di balik penamaan pedagang kaki lima.
Salah satu teori yang paling terkenal dari penamaan pedagang kaki lima ialah merujuk pada lebar trotoar atau jalan tempat mereka berjualan. Pada masa penjajahan Belanda, beberapa jalan besar di Indonesia dirancang dengan trotoar yang memiliki lebar sekitar lima kaki.
Trotoar ini dikhususkan untuk pejalan kaki, tetapi sering dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan karena lokasinya yang strategis. Dalam bahasa Belanda, kaki lima berasal dari "vijf voet," yang secara harfiah berarti lima kaki.
Di beberapa kota besar, pedagang kaki lima mulai memanfaatkan area trotoar ini untuk membuka lapak mereka, sehingga istilah kaki lima menjadi identik dengan pedagang di tepi jalan.
Pendapat lain yang berkembang ialah kaki lima berasal dari jumlah `kaki` atau penopang yang terkait dengan pedagang itu sendiri dan gerobak atau barang dagangannya.
Istilah ini merujuk pada jumlah `kaki` yang secara simbolis terdiri dari pedagang itu sendiri (dua kaki manusia) dan gerobak, sehingga totalnya menjadi lima `kaki.`
Dalam beberapa referensi sejarah kota di Asia Tenggara, istilah `kaki lima` juga ditemukan di negara-negara seperti Malaysia dan Singapura. Di sana, istilah ini muncul karena kebijakan pemerintah kolonial Inggris yang mewajibkan area berukuran lima kaki di depan toko atau ruko sebagai ruang untuk pejalan kaki dan pedagang kecil.
Ruang ini kemudian dikenal sebagai `five-foot way` atau `jalur lima kaki.` Konsep ini mempengaruhi beberapa kota di Indonesia, terutama di wilayah yang dekat dengan pengaruh kolonial Inggris.
Istilah `pedagang kaki lima` pun digunakan di Indonesia untuk menggambarkan pedagang yang beroperasi di area serupa, yang sebenarnya mengacu pada kebijakan penataan ruang publik di kota-kota besar.
Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa `pedagang kaki lima` merupakan istilah yang berkembang secara sosial dan ekonomi. Di masyarakat, pedagang yang berjualan di area trotoar atau tepi jalan cenderung menggunakan sarana sederhana, bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan fleksibel.
Karena tidak menggunakan toko permanen, masyarakat menyebut mereka `pedagang kaki lima` sebagai sebutan yang mencerminkan kesederhanaan dan keunikan aktivitas berjualan mereka.
Seiring waktu, istilah ini terus berkembang dalam budaya Indonesia dan menjadi sebutan yang merujuk pada seluruh pedagang yang berjualan di luar bangunan resmi, seperti trotoar, area pasar tumpah, atau tepi jalan.