JAKARTA - Wakil Ketua Komisi XIII Andreas Hugo Pareira mengingatkan Pemerintah dalam pengembalian terpidana mati kasus narkotika, Mary Jane Veloso ke Filipina tidak melanggar hukum.
Ia menuntut Pemerintah untuk memberikan penjelasan kepada rakyat Indonesia perihal kasus tersebut.
Hal itu disampaikan Andreas di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
"Pemerintah dalam hal ini perlu menjelaskan dengan mekanisme dan prosedur hukum seperti apa Mary Jane ini diserahkan ke pemerintah Filipina," kata Andreas seperti diberitakan dpr.go.id, Jumat (22/11/2024),
Mary Jane mendekam di penjara Indonesia sejak tahun 2010 atas tuduhan penyelundupan narkotika berupa 2,6 kilogram heroin. Pekerja migran Filipina tersebut mendapat vonis hukuman mati meski terus berupaya mendapat keringanan hukum.
Setelah permohonan grasinya ditolak oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), Mary Jane kini akan dikembalikan ke Filipina. Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan RI Yusril Ihza Mahendra mengatakan Mary Jane bukan dibebaskan tapi akan dipindahkan melalui kebijakan kerja sama pemindahan atau transfer of sentenced person (transfer of prisoner).
Berbagai pakar mempertanyakan pendekatan yang dilakukan Pemerintah di bawah pimpinan Presiden Prabowo Subianto terkait pemulangan Mary Jane itu. Pasalnya Indonesia hingga saat ini belum ada Undang-undang Pemindahan Narapidana. Hal yang sama juga menjadi perhatian Andreas.
"Memang benar dia (Mary Jane) warga negara Filipina, tetapi dia melakukan pelanggaran hukum di otoritas wilayah negara Indonesia dan sudah divonis dan berkekuatan hukum tetap," ungkap Legislator dari Dapil NTT I tersebut.
Andreas pun memberikan contoh kasus serupa yaitu Schapelle Corby, seorang warga Australia yang meminta untuk dipulangkan dan menjalani sisa hukuman di negaranya. Saat itu, Pemerintah Indonesia menolak dengan alasan ketiadaan Undang-Undang Pemindahan Narapidana.
Pemerintah juga beralasan tidak bisa memindahkan Corby ke Australia untuk menjalani sisa hukuman karena tindak pidana yang dilakukannya merupakan kejahatan berat yakni berkaitan dengan narkotika, sama seperti dengan Mary Jane.
Menurut Andreas, ketidakkonsistenan Pemerintah ini akan menjadi pertanyaan di kalangan internasional. Ia juga mendorong Pemerintah untuk menunjukan ketegasan hukum yang menjadi rujukan atas kebijakan Pemerintah dalam hal pemulangan Mary Jane.
"Dan kalaupun dikirim ke Filipina, apakah kita sudah punya perjanjian ekstradisi dengan Filipina? Setahu saya belum," tegas Andreas.
"Kalau belum, lantas atas dasar hukum apa pengembaliah Mary Jane ini. Hal tersebut harus dijelaskan karena menyangkut kedaulatan dan kewibawaan hukum di negara kita," sambungnya.
Andreas memahami bahwa kesepakatan antara Presiden Prabowo dengan Presiden Filipina Bongbong Marcos terkait pengembalian Mary Jane ke Filipina merupakan langkah diplomatik. Hanya saja, ia mengingatkan, langkah diplomatik seharusnya tidak mengabaikan prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia.
"Langkah untuk memindahkan seorang narapidana harus didasari oleh kerangka hukum yang jelas dan konsisten, yang mencerminkan kedaulatan hukum Indonesia," ucap Andreas.