JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat mengatakan, pemerintah diharapkan segera menuntaskan Rencana Pencegahan dan Pengendalian Kanker Nasional untuk mengatasi sejumlah kendala yang dihadapi para penderita kanker.
"Peningkatan kasus kanker payudara yang terjadi saat ini belum mampu diimbangi oleh pelayanan pengobatan dan pencegahan yang diberikan oleh unit-unit layanan kesehatan yang ada. Dibutuhkan kerja sama semua pihak, negara dan masyarakat, untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang lebih baik," kata Lestari.
Hal tersebut Lestari sampaikan pada Focus Group Discussion bertema Merealisasikan Rencana Kanker Nasional untuk Menekan Angka Kematian Akibat Kanker Payudara, di Ruang Delegasi, Nusantara IV, Gedung DPR RI/DPD RI/MPR RI, Jakarta, Senin (25/11).
Sulitnya mengakses unit layanan kesehatan bagi penderita kanker payudara, ujar Lestari, membutuhkan dukungan aktif negara dan masyarakat.
Apalagi, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, ketika masyarakat sudah mulai peduli melakukan deteksi dini melalui SADARI, tindak lanjut pemeriksaan dari hasil deteksi dini itu masih menghadapi kesulitan.
Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu mendorong agar masyarakat, para pegiat di komunitas penderita kanker, dan pakar pengobatan kanker segera menyampaikan sejumlah kendala yang dihadapi itu kepada para wakil rakyat di Komisi IX DPR RI di Senayan.
Sehingga, tambah Rerie, sejumlah kebijakan seperti Rencana Pencegahan dan Pengendalian Kanker Nasional mendapat dukungan dari para legislator untuk segera diwujudkan.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu juga mendorong agar tata kelola dalam proses pengobatan kanker juga harus diperhatikan untuk mempermudah penderita kanker dalam menjalani pengobatan.
Koordinator Pelayanan Kanker Terpadu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Soehartati Argadikoesoemo Gondhowiardjo mengungkapkan penderita kanker terbanyak berusia di atas 50 tahun dan satu dari tiga pasien kanker adalah penderita kanker payudara.
Menurut Soehartati, pekerjaan rumah yang kita hadapi pada penyakit tidak menular, seperti kanker, cukup sulit, tidak semudah mengatasi penyakit menular.
Penyakit tidak menular, tambah dia, membutuhkan proses yang menyeluruh dari hulu ke hilir agar kita dapat mendiagnosa penyebab penyakitnya dengan pasti.
Sehingga, menurut Soehartati, hanya dengan pemberlakuan kebijakan yang tepat kita bisa berharap dapat menekan angka kasus kanker di Indonesia.
Karena itu, tidak hanya menghadirkan dokter onkologi saja untuk mengobati kanker. "Kita butuh keterlibatan semua pihak dalam mewujudkan sebuah kebijakan yang tepat dalam mengatasi kanker. Kolaborasi menjadi hal yang penting untuk mewujudkannya," kata Soehartati.
Ketua Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia, Hasbullah Thabrany berpendapat beban penderita kanker memang berat, mulai dari sulit dalam mendeteksi penyebabnya, hingga biaya pengobatan yang mahal.
Menurut Hasbullah, pengalokasian dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk pengobatan kanker kurang memadai, sehingga kendala penderita kanker dalam proses pengobatan belum sepenuhnya teratasi.
Defisit dana yang kerap dialami JKN, ungkap dia, karena memang uang yang masuk ke JKN lebih kecil daripada uang yang keluar untuk membiayai pengobatan anggotanya.
Sejatinya, kata Hasbullah, pemerintah bisa menghitung berapa dana yang dibutuhkan untuk membiayai pengobatan para penderita kanker di tanah air.
Dengan political will yang kuat, jelas dia, pemerintah bisa saja memobilisasi dana ke JKN untuk mengatasi defisit yang terjadi, sehingga JKN mampu memberi manfaat yang seluas-luasnya bagi masyarakat.