PORTO - Auditorium Francisco de Assis menjadi saksi dari keindahan budaya Indonesia yang membius ratusan penonton dalam Festival Indonesia: A Heartbeat of Cultural Diversity.
Kegiatan ini merupakan kegiatan Festival Indonesia pertama yang diselenggarakan oleh KBRI Lisabon di kota Porto, dimana Festival Indonesia di tahun-tahun sebelumnya digelar di pusat Ibukota Portugal, Lisabon.
Kota Porto merupakan kota dengan jumlah masyarakat Indonesia paling banyak di Portugal. Selain itu, Porto juga merupakan kota kedua terbesar di Portugal dan menjadi destinasi tujuan wisata populer di Eropa.
Penyelenggaraan kegiatan Festival Indonesia di Porto diharapkan dapat memperluas cakupan promosi Indonesia di berbagai kota di Portugal.
Kegiatan Festival Indonesia: A Heartbeat of Cultural Diversity dibuka oleh penampilan Tari Topeng Keras oleh I Putu Adnyana Putra dari Yayasan Dharma Semara Girang, Bali. Kemampuan penari yang dapat menghidupkan karakter topeng dengan baik, jalinan wiraga, wirama dan wirasa yang menyatu, membuka festival dengan penuh rasa kekaguman dari penonton.
“Kita berkumpul, bukan hanya sebagai individu dari berbagai negara, tetapi sebagai sebuah komunitas yang datang untuk menyaksikan kekayaan budaya Indonesia yang dikenal beragam. Festival ini merupakan ajang pagelaran budaya yang menampilkan berbagai tradisi dan bakat yang membuat negara Indonesia begitu Istimewa," kata Duta Besar RI Lisabon Rudy Alfonso.
Denting gamelan GangSwara, kelompok Gamelan kolaborasi antara KBRI Lisabon dengan Jurusan Musik Sains Universitas NOVA Lisboa berhasil membawa suasana magis dan membuat penonton larut dalam alunan musik tradisional Jawa. Gendhing klasik yang ditampilkan meliputi Lancaran Bendrong yang mengiringi pertunjukan Tari Klono Topeng Sewandono, Lancaran Gugur Gunung dan Ketawang Mijil Wigaringtyas.
Turut meramaikan suasana, ditampilkan beberapa tari tradisional Indonesia seperti Topeng Bujuh dari Yayasan Dharma Semara Girang, Tari Bajidor Kahot dan Jejer Jaran Dawuk dari kelompok tari binaan KBRI Lisabon, Citraloka.
Festival Indonesia: A Heartbeat of Cultural Diversity turut menampilkan kolaborasi antara Manshur Praditya dan penyanyi Murni Surbakti. Manshur Praditya merupakan talenta muda berbakat asal Bandung, Jawa Barat, yang membawa alat musik Angklung ke panggung-panggung mancanegara, dikemas menarik dalam konsep Electronic Dance Musik (EDM). Bersama penyanyi Murni Surbakti, mereka membawakan lagu medley Nusantara, lagu nasional Tanah Airku, lagu internasional Can´t Take My Eyes dan lagu folklore Portugal, Ó Malhão.
Penampilan Angklung dari Manshur Praditya semakin meriah setelah 300 Angklung dibagikan kepada penonton saat sesi musik interaktif. Dengan antusiasme yang sangat tinggi, penonton belajar langsung cara memainkan alat musik tradisional Angklung. Bukan hanya itu, penonton juga dipandu untuk turut berpartisipasi memainkan Angklung, mengiringi penampilan lagu Can´t Help Falling in Love dan We are the Champions. Suara angklung yang harmonis memenuhi auditorium, membawa suasana sunda di Porto.
Penonton seakan dibuat tidak henti-hentinya untuk terpukau, Tari Kecak yang biasanya mereka lihat di TV atau YouTube, dapat mereka tonton langsung. Tari Kecak dibawakan oleh puluhan mahasiswa Indonesian International Student Mobility Awards – IISMA yang saat ini kuliah di Institut Politeknik Porto.
Atas bimbingan profesional dari Yayasan Dharma Semara Girang, mahasiswa IISMA mampu menampilkan Tari Kecak yang harmoni, ditambah dengan kehadiran Rahwana, Hanoman dan Sinta, menciptakan atmosfer Bali yang kental.
Kegiatan Festival Indonesia ditutup dengan pembagian hand bouquet kepada seluruh pengisi acara. Setelah itu, penonton larut naik ke panggung untuk bernyanyi dan menari bersama saat lagu penutup Alusi Au dan Gemu Fa Mi Re dilantunkan.
Selain penampilan musik dan tari, kegiatan Festival Indonesia: A Heartbeat of Cultural Diversity turut menghidangkan aneka jajanan pasar khas Indonesia seperti Bolu Kukus, Lemper, Risol, Dadar Gulung, Klepon dan Kue Kembang Goyang dari SUAS (toko dan restoran Indonesia di Porto).
Selain itu, juga terdapat kegiatan Batik Showcase yang bertujuan untuk memperkenalkan proses dan peralatan yang digunakan untuk pembuatan Batik, yang dilakukan di lobi gedung sebelum penonton memasuki ruangan auditorium.
Corner Batik Showcase juga memajang hasil karya dari Pedro Carvalho de Almeida, Dosen Desain, Media dan Budaya di Universitas Aveiro, yang mengembangkan produk sepatu dengan motif Batik dan Songket Indonesia.
Festival ini berhasil menyatukan masyarakat Indonesia, Masyarakat lokal Portugal dan komunitas internasional yang hadir, menunjukkan bahwa seni dan budaya Indonesia dapat menjadi jembatan yang mempererat persahabatan antara Indonesia - Portugal.