• News

Operasi Kondor, Jejak Kejahatan HAM di Amerika Selatan

M. Habib Saifullah | Kamis, 12/12/2024 12:15 WIB
Operasi Kondor, Jejak Kejahatan HAM di Amerika Selatan Ilustrasi operasi Kondor, salah satu kejahatan HAM yang pernah terjadi dalam sejarah dunia (Foto: Reuters)

JAKARTA - Operasi Kondor (Operation Condor) merupakan salah satu tragedi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi di kawasan Amerika Selatan pada tahun 1970-an hingga 1980-an.

Operasi ini melibatkan sejumlah rezim militer otoriter, yang bekerja sama untuk memberantas kelompok-kelompok yang dianggap mengancam stabilitas kekuasaan mereka.

Namun, dalam praktiknya, Operasi Kondor berubah menjadi alat penindasan brutal terhadap rakyat sipil, mencakup penculikan, penyiksaan, penghilangan paksa, dan pembunuhan massal.

Latar Belakang Operasi Kondor

Operasi Kondor lahir dari konteks global Perang Dingin, yang mempertemukan blok Barat (kapitalis) dengan blok Timur (komunis). Ketakutan terhadap penyebaran ideologi komunis di Amerika Selatan, terutama setelah Revolusi Kuba (1959), membuat pemerintah Amerika Serikat, mendukung rezim-rezim otoriter di kawasan ini untuk melawan segala bentuk gerakan kiri. Dukungan tersebut mencakup pelatihan, pendanaan, dan bantuan intelijen.

Di sisi lain, negara-negara seperti Argentina, Chili, Uruguay, Paraguay, Brasil, dan Bolivia menghadapi tantangan politik internal berupa perlawanan dari kelompok sosialisme, komunis, atau bahkan aktivis demokrasi.

Untuk mengatasi ancaman ini, para pemimpin militer di negara-negara tersebut bersepakat untuk bekerja sama dalam melacak, menangkap, dan menghabisi musuh-musuh politik mereka, baik di dalam maupun di luar negeri.

Pada tahun 1975, di Santiago, Chili, perjanjian resmi mengenai Operasi Kondor ditandatangani oleh negara-negara peserta. Operasi ini menjadi jaringan represif internasional pertama yang terorganisir, di mana intelijen dari berbagai negara berbagi informasi dan bekerja sama dalam menjalankan operasi lintas batas.

Alasan dan Tujuan

Tujuan utama Operasi Kondor ialah menumpas apa yang disebut "ancaman subversif" terhadap kekuasaan militer dan kestabilan politik di kawasan Amerika Selatan. Namun, istilah "subversif" digunakan secara luas untuk mencakup siapa saja yang menentang kebijakan pemerintah otoriter, termasuk:

  • Aktivis politik kiri.
  • Pemimpin serikat buruh.
  • Wartawan dan penulis kritis.
  • Akademisi dan intelektual.
  • Rakyat sipil yang diduga mendukung oposisi.

Dalam praktiknya, operasi ini tidak hanya menargetkan individu-individu yang benar-benar terlibat dalam aktivitas perlawanan, tetapi juga orang-orang tak bersalah yang menjadi korban tuduhan tanpa bukti.

Modus Operandi

Operasi Kondor dijalankan dengan metode kejam dan sistematis, termasuk:

  1. Penculikan dan Penghilangan Paksa: Ribuan orang diculik tanpa proses hukum dan dibawa ke lokasi-lokasi rahasia.
  2. Penyiksaan Sistematis: Para tahanan sering kali disiksa secara brutal untuk mendapatkan informasi atau sekadar menghukum mereka.
  3. Eksekusi Tanpa Pengadilan: Banyak korban dieksekusi tanpa pengadilan, dan mayat mereka sering kali dibuang ke laut atau kuburan massal.
  4. Operasi Lintas Batas: Operasi ini melibatkan pembunuhan aktivis yang melarikan diri ke luar negeri, termasuk di Eropa dan Amerika Utara.

Perkiraan Jumlah Korban

Jumlah pasti korban Operasi Kondor sulit diketahui karena banyak kasus yang belum terungkap. Namun, berdasarkan laporan berbagai komisi kebenaran dan dokumen yang telah dibuka, perkiraan korban meliputi:

  • Argentina: Sekitar 30.000 orang menjadi korban penghilangan paksa selama rezim militer (1976–1983).
  • Chili: Di bawah kepemimpinan Augusto Pinochet, sekitar 3.000 orang tewas atau hilang.
  • Uruguay, Paraguay, Brasil, dan Bolivia: Ribuan lainnya mengalami nasib serupa di negara-negara ini. Secara keseluruhan, Operasi Kondor diperkirakan menewaskan atau menyebabkan penghilangan paksa antara 50.000 hingga 60.000 orang, dengan sekitar 400.000 orang lainnya ditahan dan disiksa.

Dukungan Amerika Serikat

Dokumen rahasia yang dibuka kemudian menunjukkan bahwa Amerika Serikat, melalui CIA dan pejabat tinggi seperti Henry Kissinger, mendukung operasi ini dengan memberikan pelatihan militer, bantuan logistik, dan informasi intelijen. Dukungan ini didasarkan pada strategi geopolitik untuk menghentikan penyebaran komunisme di kawasan tersebut.