JAKARTA – Impor Indonesia dari China selama 20 tahun terakhir terus mengalami peningkatan rata-tara mencapai 9% setiap tahun. Bahkan tahun 2023, Indonesia melakukan impor dari China meningkat sangat tajam, yakni 28%.
“Itu menunjukkan adanya ketergantungan yang tinggi terhadap barang impor dari China,” kata Dosen Universitas Paramadina/Ekonom INDEF, Dr. Ariyo DP Irhamna dalam diskusi “Catatan Akkhir Tahun: Investasi dan Industri Sebagai Faktor Kritis Dalam Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi 8%” yang digelar secara daring di Jakarta, Senin (23/12/2024).
Peningkatan ketergantungan terhadap China menurut Ariyo, betul-betul nyata dari data-data yang ada. Hal itu mencerminkan risiko ekonomi yang lebih besar jika terjadi distruksi perdagangan bilateral kedua negara, terutama aspek geopolitik dengan terpilihnya Trump di AS. Trade war bisa terus berlanjut.
“Ketergantungan yang tinggi juga dapat membuat Indonesia rentan terhadap perubahan harga dan pembelian barang dari China.
“Ekonomi kita menjadi banyak di drive oleh ekonomi China karena ekspornya 28% ke Indonesia,” tegas Ariyo.
Berdasarkan catatan, sejak 2004 hingga 2023, Jepang menjadi faktor utama tujuan ekspor Indonesia dengan pangsa pasar meningkat dari 40% di 2004 menjadi 45% di 2023.
Sedangkan Vietnam menjadi negara tujuan ekspor Indonesia dari peringkat 10 (3%) di 2004 menjadi peringkat 2 (17%) di 2023.
“Jadi tidak ada perubahan struktural dari sumber ekspor dan sumber impor Indonesia selama hampir 20 tahun,” ujarnya.
Dari sisi value added trade, lanjut Ariyo, Indonesia miliki tiga hal. Pertama, backward global value change Indonesia yang menempati peringkat 25 dunia, di mana nilai tambah dari asing lebih besar dibanding domestik. Sisi sebaliknya di forward global value change, Indonesia berada di peringkat 23 dunia.
“Tapi dari penggabungan backward dan forward, Indonesia justru jauh ada di peringkat 40,” kata Ariyo.
Target Imajinatif
Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 8% di era Presiden Prabowo dinilai Ariyo menjadi imajinatif setelah kabinet yang dibentuk menjadi lebih dari 100 personel. Faktor efisiensi dan efektivitas menjadi penghambat dengan banyak hal terutama penyesuaian-penyesuaian di masing-masing kementerian.
Di RPJPN telah diamanatkan agar Indonesia menjadi negara maju, maka tahun 2025 hingga 2029 harus mencapai 30% pertumbuhan industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi, melalui strategi integrasi investasi domestik dan global.
“Tapi strategi penguatan domestic value change perlu harmonisasi, kebijakan sektoral indutri hulu dan hilir harus saling mendukung, dan tidak parsial,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Universitas Paramadina Dr. Handi Risza Idris mengatakan, target pertumbuhan ekonomi Indonesia 8% pada era Presiden Prabowo, seperti mengulangi rencana mantan Presiden Jokowi 10 tahun lalu. Ketika itu, Presiden Jokowi juga mempunyai rencana pertumbuhan ekonomi mendekati 8% atau 7% tepatnya.
“Dalam kenyataannya selama 10 tahun Jokowi memerintah, pertumbuhan ekonomi stuck hanya di angka 5%, jaman covid 19 bahkan sempat minus,” tegas Handi.
Menurut Handi, unsur yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi adalah investasi. Investasi bisa merupakan trigger bagi pertumbuhan ekonomi yang bersifat jangka panjang.
Ia memaparkan, rumus pertumbuhan ekonomi Konsumi (C) + Investasi (I) + Gov. Expenditure (G) – (X-I), sementara dari sisi penawaran, produksi/output merupakan fungsi dari sisi modal, tenaga kerja dan SDM.
“Jika diturunkan, maka akumulasi kapital merupakan akumulasi dari investasi yang dilakukan saat ini ditambah investasi setelah dikurangi depresiasi pada tahun sebelumnya,” jelasnya.
Jadi, lanjutnya, investasi merupakan salah satu pengeluaran agregat di mana peningkatan investasi akan meningkatkan permintaan agregat dan pendapatan nasional. Sementara pengeluaran barang modal sebagai akibat investasi akan menambah kapasitas produksi, dengan penambahan mesin baru, perluasan pabrik dll. akan merupakan stimulus dari peningkatan produksi nasional dan kesempatan kerja.
“Potret GDP kita, konstribusi dari PMTB (pertumbuhan modal tetap bruto) ini di bawah konsumsi rumah tangga (29%) dengan pertumbuhan 5,15%. Itu menjadi instrument yang tidak bisa dipisahkan dalam menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Kinerja perekonomian nasional akan ditunjukkan melalui PDB/GDP dan juga bagaimana PMTB-nya. PMTB adalah kontributor kedua setelah konsumsi rumah tangga di GDP.
Handi mencatat, sejak 2017-2018, nilai investasi tercatat melebihi nilai GDP. Sayangnya, hal itu tidak pernah dialami lagi, sampai hari ini. Itu artinya, pertumbuhan investasi terus mengalami penurunan, bahkan di bawah pertumbuhan GDP itu sendiri.
“Hal itulah yang harus disikapi dengan baik, apalagi jika berencana ingin mencapai pertumbuhan 8%,” tegas Handi.
Distribusi investasi terhadap GDP juga menurut Handi, terus alami penurunan. Angka tertinggi ada pada 2015, di mana kontribusi investasi terhadap GDP 32,81%. Setelah itu, terus alami penurunan hingga 2023 lalu kontribusinya hanya 29,33%. Itu selaras dengan terjadinya kontribusi manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi yang terus mengalami penyusutan yang nilainya tidak sampai 20% (18-19%).
Handi merekomendasikan: Pertama, investasi menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi jangka panjang, karena mendorong kapasitas produksi.
Kedua, perbaikan iklim investasi, peningkatan kualitas SDM, ramah investasi, tranparansi serta birokrasi bersih dan melayani merupakan upaya menurunkan angka ICOR dan menarik Investasi.
Ketiga, Jika ingin tumbuh 8% maka ICOR harus ber angka 3 – 4. Indonesia butuh investasi Rp13.528 triliun dalam 5 tahun ke depan. 30% di antaranya ditopang oleh investasi.
Keempat, peningkatan total factor productivity via peningkatan kualitas SDM, adopsi teknologi, inovasi, riset dan pengembangan merupakan syarat wajib pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.