JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Eddy Soeparno menyampaikan pentingnya upaya mencegah dampak krisis iklim bagi masyarakat Indonesia. Apalagi sepanjang tahun 2024 indikasi semakin meluasnya dampak krisis iklim semakin nyata.
Eddy menjelaskan, salah satu dampak krisis iklim yang semakin nyata adalah Banjir Rob yang terjadi di Jakarta Utara dan beberapa wilayah pesisir lainnya di Indonesia.
“Banjir Rob adalah dampak dari kenaikan permukaan air laut sekaligus turunnya permukaan tanah di Jakarta. Tapi harus dicatat bahwa Banjir Rob ini bukan hanya terjadi di Jakarta. Bencana Banjir Rob sudah menjadi ancaman bagi seluruh wilayah pesisir Indonesia. Situasi ini yang harus menjadi perhatian pemerintah,” ujarnya dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Selasa (31/12).
Selain Banjir Rob, menurut Eddy indikasi krisis iklim di tahun 2024 juga semakin terlihat dari cuaca ekstrim yang terjadi di Indonesia baik kemarau panjang maupun curah hujan tinggi yang dibarengi dengan badai.
"Baik kemarau panjang maupun curah hujan intensitas tinggi berdampak diantaranya pada petani yang periode tanamnya menjadi tidak beraturan. Selain itu kekeringan dan banjir besar melanda beberapa wilayah di Indonesia," ujar dia.
"Sepanjang 2024 juga terjadi kenaikan suhu di kota-kota besar seperti Jakarta yang pernah mencapai 35 derajat celcius, Semarang 37 derajat celcius dan bahkan Kota Bogor yang biasanya sejuk pernah mencapai 35,5 derajat celcius. Indikasi krisis iklim semakin jelas," lanjutnya.
Eddy juga mencatat sepanjang 2024, Jakarta dan beberapa kota besar lainnya berulang kali tercatat sebagai kota dengan polusi udara tertinggi di dunia.
“Sepanjang tahun 2024 kita menyaksikan polusi di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia menempati peringkat 1 dunia. Hal ini tentu berimplikasi pada kesehatan warga. Harus dicatat bahwa kejadian di tahun 2024 ini merupakan pengulangan dari kejadian 2022 dan 2023 lalu yang masih belum banyak berubah,” kata Eddy.
“Apalagi Presiden Prabowo dalam KTT G-20 di Brazil sudah menyampaikan rencana tahapan coal phase-down PLTU dan mempersiapkan pembangkit energi terbarukan dengan kapasitas mencapai 75 GW. Komitmen pemerintah untuk mengurangi intensitas pembangkit batu bara dengan melakukan transisi energi ke tenaga yang terbarukan ini harus didukung,” sambung Eddy.
Doktor Ilmu Politik FISIP UI ini menegaskan, tahun 2025 nanti solusi komprehensif penanganan polusi udara ini harus menjadi prioritas pemerintah. Salah satunya adalah dengan melakukan percepatan transisi menuju energi terbarukan.
“Pada tahun 2024 ini presentasi bauran energi terbarukan baru mencapai 13,93 persen. Padahal Indonesia memiliki potensi energi terbarukan hingga 2.700 GW. Di sisi lain, tahun 2025 target bauran energi terbarukan yang seharusnya mencapai 23 persen, menurut Dewan Energi Nasional akan diturunkan menjadi 17-19 persen,” ungkapnya.
Karena itu sebagai Pimpinan MPR RI maupun Anggota Komisi XII DPR RI, Eddy terus mendorong agar Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) segera disahkan.
“Pengesahan RUU EBET menjadi UU akan memberi kepastian hukum bagi para investor dan pelaku bisnis di bidang energi terbarukan, serta diharapkan menjadi langkah maju untuk meningkatkan secara signifikan bauran energi terbarukan,”ujarnya.
“Kami di MPR RI akan terus mengawal dan memastikan kebijakan percepatan transisi menuju energi terbarukan ini memberikan dampak positif untuk menciptakan udara bersih dan lingkungan yang sehat sesuai amanat konstitusi dalam Pasal 28H ayat 1 UUD NRI Tahun 1945,” kata Anggota DPR RI Dapil Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur ini.