JAKARTA - Akad nikah merupakan salah satu momen paling sakral dalam pernikahan menurut ajaran Islam. Proses ini bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah perjanjian suci yang mengikat pasangan suami istri di hadapan Allah SWT. Akad nikah menjadi penentu sah atau tidaknya suatu pernikahan menurut hukum Islam dan mengandung tanggung jawab besar bagi kedua mempelai.
Akad nikah adalah prosesi yang mengikat mempelai pria dan wanita dalam hubungan pernikahan yang sah menurut ajaran Islam. Dalam akad ini, wali dari mempelai wanita menyerahkan tanggung jawab kepada mempelai pria, yang kemudian menerima dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Prosesi ini menjadi landasan dalam membangun rumah tangga yang harmonis dan sesuai syariat.
Allah SWT menyebut pernikahan sebagai “mitsaqan ghaliza” atau perjanjian yang kokoh, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
“…dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa: 21)
Istilah mitsaqan ghaliza juga digunakan dalam konteks perjanjian Allah dengan para nabi, yang menunjukkan betapa kuatnya perjanjian dalam pernikahan. Oleh karena itu, pasangan suami-istri hendaknya tidak mudah mengucapkan kata cerai karena pernikahan adalah amanah yang harus dijaga.
Dalam Islam, akad nikah harus memenuhi syarat dan rukun tertentu agar dianggap sah. Berikut ketentuan akad nikah:
Rukun nikah adalah unsur yang wajib ada dalam pernikahan agar sah menurut syariat Islam. Rukun nikah terdiri dari:
Mempelai pria yang memenuhi syarat sebagai calon suami.
Mempelai wanita yang sah dinikahi.
Wali perempuan yang bertindak sebagai pihak yang menikahkan.
Dua saksi nikah yang adil dan memenuhi syarat.
Ijab dan qabul sebagai pernyataan resmi dalam akad nikah.
Selain rukun nikah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar pernikahan sah dalam Islam:
Kedua mempelai beragama Islam.
Tidak ada hubungan mahram antara mempelai pria dan wanita.
Wali akad nikah harus ada dan sah.
Mempelai tidak sedang dalam keadaan ihram atau berhaji.
Pernikahan dilakukan atas dasar kerelaan, bukan paksaan.
Ijab adalah pernyataan yang diucapkan oleh wali mempelai wanita sebagai bentuk kesediaan untuk menikahkan putrinya.
Qabul adalah pernyataan yang diucapkan oleh mempelai pria sebagai tanda persetujuan dan penerimaan pernikahan tersebut.
Kombinasi antara ijab dan qabul inilah yang disebut sebagai akad nikah. Prosesi ini harus disaksikan oleh minimal dua orang saksi agar sah secara hukum Islam.
Berikut ini lafal ijab dalam bahasa Arab yang dibacakan oleh wali nikah pihak perempuan:
Bahasa Arab:
أنكحتك أو زوجتك مخطوبتك بنتي ... على المهر ... حالا
Arab Latin:
Ankahtuka wa zawwajtuka makhtubataka binti (nama pengantin perempuan) alal mahri (mahar/mas kawin) hallan.
Artinya:
“Aku nikahkan engkau dan aku kawinkan engkau dengan pinanganmu, puteriku (nama pengantin perempuan) dengan mahar (mahar/mas kawin) dibayar tunai.”
Lafal qabul dalam bahasa Arab yang dibacakan oleh mempelai pria:
Bahasa Arab:
قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيْجَهَا عَلَى الْمَهْرِ الْمَذْكُوْرِ وَرَضِيْتُ بِهِ وَاللهُ وَلِيُّ التَّوْفِيْقِ
Arab Latin:
Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq.
Artinya:
“Saya terima nikah dan kawinnya dengan mahar yang telah disebutkan, dan aku rela dengan hal itu. Dan semoga Allah selalu memberikan anugerah.”
Menikah bukan hanya disyariatkan dalam Al-Qur’an, tetapi juga ditekankan dalam hadits Rasulullah SAW:
“Wahai para pemuda! Barang siapa di antara kalian telah mampu untuk menikah, maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan…” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa menikah merupakan anjuran bagi mereka yang telah siap secara lahir dan batin, karena dapat menjaga kehormatan dan kesucian diri.
Dalam hadits lain disebutkan bahwa menikah merupakan sunnah Nabi sekaligus sebagai penyempurna separuh agama. "Nikah itu sunnahku, barang siapa yang benci dengan sunnahku, maka tidaklah termasuk dari golonganku". Dengan kata lain, selain mendapatkan sunnah yang besar, seseorang yang telah menikah akan menjadi sempurna separuh dari agamanya.
Menurut sebagian besar ulama, hukum pernikahan dalam Islam adalah mubah (boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan). Namun, hukum ini bisa berubah sesuai kondisi individu yang hendak menikah:
Wajib, bagi seseorang yang mampu secara fisik dan finansial serta khawatir terjerumus dalam perbuatan zina jika tidak menikah.
Sunnah, bagi seseorang yang mampu menikah dan memiliki keinginan untuk membangun rumah tangga, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam zina.
Makruh, bagi seseorang yang tidak memiliki kesiapan baik secara mental maupun finansial untuk berumah tangga.
Haram, bagi seseorang yang menikah dengan niat buruk atau tanpa adanya kemampuan untuk memenuhi kewajiban dalam rumah tangga.