JAKARTA – Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 dinilai tidak sesuai harapan alias mengecewakan, sehingga target-target pemerintah di 2025 menjadi semakin berat dan bahkan tak lagi realistis.
Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky, melihat kinerja yang ditampilkan dalam angka-angka realisasi sementara APBN 2024 memperberat pengelolaan APBN di 2025.
“Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan pemerintah dalam pengelolaan APBN 2025 yang sedang berjalan ini. Yang pertama, APBN 2025 menargetkan pendapatan sebesar Rp3.005 triliun. Jika dibanding realisasi sementara 2024, maka target memerlukan kenaikan sebesar 5,72 persen dari 2024. Meski bukan mustahil, namun target kenaikan tersebut memerlukan realisasi kinerja kenaikan lebih dari dua kali lipat dari tahun 2024 yang hanya naik 2,10 persen,” ujar Awalil dalam webinar yang dilaksanakan, Rabu (6/1/2024) sore.
Hal yang lebih mengkhawatirkan terjadi di realisasi penerimaan pajak yang hanya Rp1.932,4 triliun atau 97,2 persen dari targetnya. Dengan target APBN 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun, maka pemerintah perlu mencapai kenaikan sebesar 13,29 persen tahun ini.
“13,29 persen ini merupakan target kenaikan yang sangat tinggi jika dilihat data historis selama ini. Apalagi ditambah dengan kondisi perekonomian 2025 yang diproyeksikan belum akan lebih baik dari tahun 2024,” ujar Awalil.
Penerimaan pajak jenis Pajak Penghasilan (PPh) mengalami realisasi yang di bawah target atau shortfall terdalam yakni hanya 93,2 persen dari target APBN 2024. Untuk mencapai target APBN 2025, penerimaan PPh harus naik 13,79 persen di tahun ini.
“Target ini sudah tidak lagi realistis berdasar data historis dan kondisi perekonomian terkini,” jelas Awalil.
Menurut Awalil, shortfall penerimaan pajak dan perpajakan memberi indikasi perekonomian sedang lesu yang mana transaksi ekonomi dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan tak sesuai harapan. “Ini terkonfirmasi pula dalam laporan tersebut bahwa pertumbuhan ekonomi hanya 5% atau di bawah target 2024,” ujarnya.
Sembunyikan
Berkebalikan dengan klaim pemerintah yang mengatakan kinerja APBN 2024 masih sehat dan kredibel dengan beberapa indikator melampaui target, Awalil melihat klaim-klaim keberhasilan pemerintah atas realisasi APBN ini cenderung menyembunyikan indikasi lain yang semestinya menjadi perhatian.
“Contohnya realisasi sementara defisit APBN 2024 nilainya secara nominal Rp507,8 triliun memang lebih rendah dari target APBN yang sebesar Rp522,8 triliun. Namun secara rasio atas PDB (produk domestik bruto), nilainya tidak lebih rendah dari target, yakni persis di 2,29%. Dengan kata lain, nilai PDB dan pertumbuhan ekonomi di 2024 realisasinya lebih rendah,”
Realisasi sementara pertumbuhan ekonomi dalam laporan Kemenkeu tersebut memang menunjukkan angka yang lebih rendah dibandingkan asumsi dasar ekonomi makro 2024 yang sebelumnya ditentukan pemerintah, yakni hanya 5,0 dari asumsi 5,2%.
Selain pertumbuhan ekonomi, hampir seluruh asumsi pemerintah tersebut meleset dari realisasinya.
“Hanya inflasi yang nilainya lebih rendah dari target asumsi pemerintah. Pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, yield SBN, dan terutama sekali lifting minyak dan gas semuanya di bawah harapan. Dan inflasi yang lebih rendah dari asumsi ini pun bukan berarti menunjukkan hal yang selalu positif di masyarakat, sebagaimana kita tahu faktor menurunnya daya beli masyarakat sangat menahan tingkat inflasi dengan rendahnya permintaan,” jelas Awalil.
Awalil menilai dengan pencapaian APBN 2025 yang akan lebih berat, cara yang efektif saat ini untuk mengatasi hal tersebut adalah mengurangi belanja dengan mempertajam prioritas serta peningkatan efektivitas dan efisiensi.
“Dibutuhkan segera Menyusun APBN Perubahan yang lebih mencerminkan arah kebijakan pemerintahan Prabowo,” pungkas Awalil.
Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana menambahkan realisasi APBN 2024 yang sejatinya di bawah harapan tersebut, terutama dalam penerimaan perpajakan, mengakibatkan pemerintah menjadi semakin terdesak untuk memenuhi target tahun ini.
“Target kenaikan penerimaan di 2025 menjadi lebih tinggi dan sulit dicapai tanpa ada tindakan radikal. Keterdesakan inilah yang membuat pemerintah banyak mewacanakan berbagai kebijakan fiskal kontroversial seperti kenaikan PPN, pengalihan subsidi BBM, hingga Tax Amnesty jilid III. Padahal akan jauh lebih bijak jika yang dilakukan adalah efisiensi dari program-program yang tidak prioritas bagi masyarakat saat ini,” ujar Andri.