• News

Prinsip Equal Distance Bisa Bikin Indonesia Jadi Penyeimbang Kawasan

Aliyudin Sofyan | Jum'at, 17/01/2025 22:41 WIB
Prinsip Equal Distance Bisa Bikin Indonesia Jadi Penyeimbang Kawasan Seminar bertema Dancing With The Dragon? Indonesia and Malaysia Policies Towards China yang digelar bersama Paramadina Graduate School of Diplomacy, Bait Al Amanah dan Forum Sinologi Indonesia di Trinity Tower Lt.45, Universitas Paramadina Kampus Kuningan, Kamis (16/1/2025). Foto: paramadina/katakini

JAKARTA – Prinsip equal distance atau prinsip keberimbangan yang diterapkan pemerintah Indonesia dalam menjalin diplomasi luar negerinya, termasuk dalam menghadapi kekuatan besar seperti China dan Amerika Serikat, bisa memungkinkan Indonesia menjaga perannya sebagai mediator dan kekuatan penyeimbang di kawasan. Tentunya dengan tetap berbasis kepada kepentingan nasional Indonesia.

Demikian disampaikan Ahmad Khoirul Umam, Ph.D, Managing Director Paramadina Public Policy Institute, dalam Seminar bertema “Dancing With The Dragon? Indonesia and Malaysia Policies Towards China” yang digelar bersama Paramadina Graduate School of Diplomacy, Bait Al Amanah dan Forum Sinologi Indonesia di Trinity Tower Lt.45, Universitas Paramadina Kampus Kuningan, Kamis (16/1/2025).

"Keseimbangan hubungan dengan kekuatan besar seperti China, Amerika Serikat, dan mitra lainnya adalah kunci untuk melindungi stabilitas dan otonomi nasional di tengah dinamika Indo-Pasifik" ujar Umam melalui keterangan yang diterima jurnas.com di Jakarta, Jumat (17/1/2025).

Umam menjelaskan, strategi ini 

Umam menegaskan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia selalu berakar pada prinsip yang diwariskan oleh para pendiri bangsa, seperti anti-kolonialisme, non-blok, dan solidaritas dengan negara-negara berkembang.

Prinsip ini, menurutnya, menjadi panduan dalam pengelolaan hubungan strategis dengan China dan kekuatan global lainnya. 

Menghadapi rivalitas antara kekuatan besar, Umam mengapresiasi pendekatan Indonesia yang mengadopsi strategi ‘hedging’, sebuah strategi pragmatis yang mencerminkan realisme neoklasik.

"Indonesia harus menggabungkan prioritas domestik dengan dinamika eksternal untuk memastikan kepentingan strategis jangka panjangnya tetap terjaga" jelasnya. 

Indonesia terus memainkan peran penting dalam forum multilateral seperti ASEAN Summit dan G20, terutama dalam mendukung tata kelola global berbasis aturan. "Komitmen terhadap hukum laut internasional UNCLOS menunjukkan upaya Indonesia untuk memperkuat stabilitas dan kepastian hukum di kawasan" tambahnya. 

Pada kesempatan yang sama, Prof. Cheng-Chwee Kuik, Profesor Hubungan Internasional di Institute of Malaysian and International Studies (IKMAS), Universiti Kebangsaan Malaysia, membagikan analisis mendalam mengenai strategi Malaysia dalam menghadapi dinamika geopolitik global.

Prof. Kuik menekankan peran penting Malaysia sebagai negara kecil yang harus menavigasi hubungan dengan kekuatan besar seperti China, Amerika Serikat, dan mitra lainnya. 

Selain itu, Prof. Kuik menyoroti peran sentral Tiongkok dalam kebijakan luar negeri Malaysia, terutama sebagai mitra dagang terbesar negara tersebut. "Pertumbuhan ekonomi Tiongkok sebagai kekuatan global memberikan peluang besar bagi Malaysia" ujar Prof. Kuik.

Program strategis seperti Belt and Road Initiative (BRI) dinilai memainkan peran penting dalam memperkuat kerja sama ekonomi bilateral. Meski demikian, Malaysia tetap menjaga diversifikasi ekonomi dengan mempertahankan hubungan perdagangan dan investasi dengan Amerika Serikat, Jepang, dan mitra internasional lainnya. 

Sebagai salah satu negara Asia Tenggara pertama yang menormalisasi hubungan diplomatik dengan Tiongkok pada 1974, Malaysia telah menunjukkan komitmen terhadap pembangunan hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan. "Dari hubungan bilateral hingga kolaborasi strategis dalam kerangka ASEAN, pendekatan Malaysia membuktikan pentingnya adaptasi dalam membangun kemitraan yang relevan di era modern" jelas Prof. Kuik. 

Prof. Kuik menjelaskan tantangan negara-negara kecil seperti Malaysia di tengah rivalitas antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Ia memperkenalkan konsep ‘equi-distance’ sebagai strategi diplomasi yang menjaga keseimbangan hubungan dengan berbagai kekuatan besar, sambil tetap mempertahankan kedaulatan dan kepentingan nasional. 

Menurutnya, Malaysia bersama negara-negara Asia Tenggara lainnya terus beradaptasi terhadap dinamika geopolitik baru, termasuk peran Jepang dan Korea Selatan sebagai mitra utama dalam ekonomi dan keamanan. "Jepang yang dulunya hanya berfokus pada bantuan ekonomi kini juga berkontribusi dalam stabilitas keamanan kawasan melalui kerja sama pertahanan," tambah Prof. Kuik. 

Dalam menghadapi masa depan, Prof. Kuik menegaskan pentingnya pendekatan yang fleksibel dan strategis bagi Malaysia untuk tetap relevan di tengah dinamika global yang terus berubah. "Keseimbangan antara ketergantungan ekonomi pada Tiongkok dan kolaborasi keamanan dengan negara-negara Barat adalah kunci untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan peran Malaysia di kancah internasional," tutupnya.