Jakarta - Gen Z memiliki banyak potensi dan keunggulan, terutama dalam keterampilan digital. Namun, pada nyatanya masih banyak generasi ini mengalami kesulitan memperoleh pekerjaan.
Generasi Z (Gen Z), yang umumnya lahir antara tahun 1997 hingga 2012, sering menghadapi tantangan dalam mendapatkan pekerjaan. Beberapa faktor yang memengaruhi kesulitan ini melibatkan perubahan pasar kerja, ekspektasi generasi, serta dinamika ekonomi dan sosial.
Dengan pendekatan yang tepat dan adaptasi terhadap pasar kerja, mereka dapat mengatasi tantangan ini dan meraih sukses di dunia kerja.
Banyaknya jumlah lulusan baru setiap tahun meningkatkan persaingan untuk posisi yang terbatas. Gen Z bersaing tidak hanya dengan sesama generasi mereka, tetapi juga dengan milenial dan profesional yang lebih berpengalaman. Dampak dari persaingan ini bisa menjadi penghambat mendapatkan pekerjaan sesuai minat atau jurusan.
Sebagai generasi yang baru memasuki dunia kerja, banyak dari mereka minim pengalaman profesional. Beberapa pemberi kerja mengutamakan kandidat dengan pengalaman kerja yang lebih matang. Sebab itu, Gen Z cenderung kesulitan memenuhi kualifikasi yang mengharuskan pengalaman beberapa tahun.
Gen Z sering mencari pekerjaan yang menawarkan fleksibilitas, keseimbangan kerja-hidup (work-life balance), serta gaji yang kompetitif. Ekspektasi ini tidak selalu sesuai dengan kenyataan di pasar kerja, terutama untuk posisi entry-level. Sulitnya menemukan pekerjaan yang memenuhi ekspektasi mereka, sehingga beberapa peluang terlewatkan.
Meskipun Gen Z dikenal terampil secara teknologi, beberapa pemberi kerja menilai mereka kurang dalam soft skill, seperti komunikasi, manajemen waktu, dan kepemimpinan. Keterampilan ini sering kali lebih dihargai dalam dunia kerja. Gen Z sering kali dianggap tantangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja.
Pandemi menyebabkan banyak perusahaan mengurangi rekrutmen atau bahkan memberhentikan karyawan. Angkatan kerja Gen Z yang baru lulus memasuki pasar kerja saat ekonomi global sedang mengalami ketidakstabilan. Banyak perusahaan lebih memilih tenaga kerja yang sudah berpengalaman untuk mengurangi biaya pelatihan.
Gen Z tumbuh dalam era digital dan sering lebih nyaman berinteraksi secara online daripada langsung. Ini dapat memengaruhi keterampilan interpersonal mereka di tempat kerja. Kesulitan dalam membangun hubungan profesional yang kuat atau menghadapi wawancara kerja tatap muka.
Beberapa Gen Z kurang memahami industri yang ingin dimasuki, termasuk tren, kebutuhan, atau jalur karier yang realistis. Sulit menemukan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan atau minat mereka.
Gen Z yang baru memulai karier mungkin belum memiliki jaringan profesional yang luas. Koneksi profesional sering kali menjadi kunci dalam menemukan peluang kerja. Kesempatan kerja melalui rekomendasi lebih sulit diperoleh.
Kurikulum pendidikan sering kali tidak selaras dengan kebutuhan keterampilan yang diinginkan oleh industri. Lulusan menghadapi kesenjangan keterampilan yang membuat mereka kurang siap menghadapi dunia kerja.
Beberapa Gen Z merasa kurang percaya diri dalam menghadapi wawancara atau persaingan ketat. Ini dapat mengurangi kemampuan mereka untuk menonjol dalam proses rekrutmen. Kesempatan kerja terlewatkan karena kurangnya inisiatif.
Perubahan ke arah otomatisasi dan digitalisasi menggantikan banyak pekerjaan konvensional. Banyak perusahaan mencari keterampilan teknologi tingkat tinggi yang mungkin belum dimiliki oleh Gen Z. Posisi entry-level semakin berkurang, dan persaingan untuk posisi teknologi semakin meningkat.
Perusahaan sering menginginkan kandidat yang bisa langsung bekerja tanpa banyak pelatihan. Gen Z, yang baru memasuki dunia kerja, mungkin memerlukan lebih banyak waktu untuk belajar. Pemberi kerja cenderung memilih kandidat yang sudah siap kerja.