Jakarta – Mempekerjakan seseorang tentu saja perusahaan mempunyai pertimbangan yang kompleks, tidak terkecuali buat generasi Z (Gen Z).
Gen Z mungkin menghadapi beberapa tantangan unik yang membuat perusahaan ragu untuk merekrut mereka.
Meskipun menghadapi tantangan ini, Gen Z memiliki potensi besar untuk sukses dengan mengadaptasi keterampilan mereka dan memenuhi ekspektasi dunia kerja. Dengan pendekatan yang tepat, mereka dapat membuktikan diri sebagai generasi yang inovatif dan produktif.
Perusahaan acapkali mengganggap generasi ini masih kurang dalam pengalaman kerja. Perusahaan cenderung memilih kandidat dengan pengalaman kerja yang lebih matang untuk mengurangi biaya pelatihan. Sebagai generasi yang baru memasuki dunia kerja, banyak Gen Z yang belum memiliki pengalaman profesional yang relevan.
Meski terampil secara digital, beberapa perusahaan merasa Gen Z dianggap terlalu bergantung pada teknologi, hingga mengesampingkan keterampilan interpersonal. mereka dinilai kurang terampil dalam membangun hubungan profesional secara langsung.
Selain itu, generasi ini terkadang berekspektasi yang tinggi, Gen Z sering kali menginginkan fleksibilitas kerja, gaji tinggi, dan lingkungan kerja yang mendukung keseimbangan hidup. Sedangkan perusahaan merasa ekspektasi ini tidak realistis untuk posisi entry-level.
Perusahaan mempunyai persepsi mereka kurang loyalitas. Gen Z sering dianggap lebih suka berpindah-pindah pekerjaan dalam waktu singkat. Sebab itu, pemberi kerja enggan menginvestasikan waktu dan sumber daya untuk melatih karyawan yang mungkin tidak bertahan lama.
Perusahaan merasa Gen Z membutuhkan lebih banyak bimbingan untuk mengembangkan keterampilan. Mereka dinilai kurang dalam keterampilan seperti komunikasi, manajemen waktu, dan kerja tim. Jadi, sift skill yang belum matang ini sering kali menjadi pertimbangan Perusahaan untuk menerima sebagai karyawan.
Belum lagi masalah etika kerja yang dianggap kurang memahami. Perusahaan merasa mereka belum siap untuk menghadapi tekanan atau tantangan dalam dunia kerja. Gen Z kadang dianggap kurang memahami nilai-nilai seperti disiplin, komitmen, dan kerja keras yang dianggap penting dalam budaya perusahaan.
Gen Z sering kali masuk ke dunia kerja tanpa pemahaman mendalam tentang industri atau kebutuhan pasar. Sehingga perusahaan melihat ini sebagai kurangnya kesiapan untuk langsung berkontribusi.
Sebagai generasi baru, Gen Z sering memerlukan pelatihan lebih banyak dibandingkan kandidat yang lebih berpengalaman. Perusahaan melihat ini sebagai biaya tambahan yang tidak selalu mereka anggarkan.
Gen Z, yang baru memulai karier, mungkin belum memiliki koneksi atau referensi profesional yang kuat. Sedangkan perusahaan lebih cenderung memilih kandidat dengan rekomendasi atau reputasi yang sudah terbukti.
Umumnya di Indonesia, perusahaan mengharuskan karyawan bekerja di kantor penuh waktu mungkin kesulitan menyesuaikan ekspektasi ini. Namun Gen Z sering lebih tertarik pada pekerjaan yang menawarkan fleksibilitas waktu dan lokasi.
Overconfidence tanpa pendukung nyata dari Gen Z, perusahaan melihat ini sebagai kurangnya kesadaran diri dan kesiapan profesional. Beberapa Gen Z tampil percaya diri tetapi tidak memiliki keterampilan atau pengalaman yang cukup untuk mendukung kepercayaan diri tersebut. Percaya diri sih boleh tapi kalau berlebihan apalagi tanpa adanya kemampuan akan membuat penerima kerja menolaknya.
Gen Z juga dianggap tidak mampu terhadap tantangan dalam kerja tim. Beberapa Gen Z terbiasa bekerja secara independen dan mungkin sulit menyesuaikan diri dengan kerja tim. Perusahaan melihat ini sebagai hambatan dalam membangun dinamika tim yang solid.
Kurangnya keterlibatan Gen Z aktif di proses rekrutmen membuat perusahaan merasa mereka kurang serius atau kurang berkomitmen terhadap proses rekrutmen. Gen Z terkadang kurang proaktif dalam mempersiapkan lamaran, wawancara, atau penelitian tentang perusahaan.
Bagaimana jika Gen Z dikritik? Mereka cenderung lebih sensitif terhadap kritik dan memprioritaskan kenyamanan emosional. Perusahaan merasa sulit memberikan umpan balik yang tegas tanpa mengganggu keseimbangan emosional karyawan