JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan, membangun kerja sama skala global harus menghadirkan manfaat bagi berbagai sektor pembangunan, bukan hanya untuk kepentingan ekonomi dan investasi semata.
"Aspek perlindungan, kesejahteraan, pendidikan dan perdamaian dunia mesti menjadi basis dalam perluasan kerja sama global kita," kata Lestari saat membuka diskusi daring yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (22/1), berjudul Setelah Indonesia Gabung BRICS: Peluang dan Manfaat Ekonomi Apa Saja yang Kita Dapatkan?
Lestari berpendapat, secara prinsip berbagai terobosan kerja sama internasional yang diinisiasi pemerintah mesti menaati apa yang diamanatkan oleh konstitusi.
Konstitusi kita, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, mengamanatkan bahwa pemerintah harus melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
"Kita perlu mendapat gambaran dari para pemangku kepentingan dan semua pihak terkait, sehingga apa yang sudah menjadi keputusan pemerintah untuk bergabung dengan BRICS, bisa kita kawal bersama," ujar Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu.
Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu sangat berharap dengan bergabungnya Indonesia dalam BRICS, tidak hanya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi sekaligus menjalankan praktik politik luar negeri yang bebas dan aktif dengan tepat.
Dalam kesempatan itu, Wakil Menteri Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno mengungkapkan, titik berat BRICS itu tidak pada Rusia, tetapi lebih pada Cina dan India yang memiliki volume ekonomi yang besar.
Menurut Arif Havas, banyak peluang yang bisa diciptakan dari sisi perjanjian perdagangan dengan negara-negara anggota BRICS.
Selain itu, jelas dia, bisa diupayakan penyusunan norma atau standar di bidang perdagangan versi negara-negara BRICS untuk menandingi standar perdagangan Uni Eropa yang kerap mengedepankan aspek keberlanjutan dan lingkungan.
Bila para anggota BRICS bisa menyamakan pandangannya terkait sejumlah permasalahan perdagangan, Arif Havas menilai, daya tawar Indonesia dalam kerja sama perdagangan dengan negara lain akan semakin kuat.
Selain itu, tambah Arif Havas, BRICS juga bisa menjadi sarana untuk me-leverage kepentingan-kepentingan Indonesia dalam kerja sama global.
Sementara itu, Direktur Eksekutif CSIS, Yose Rizal Damuri mengungkapkan bahwa dirinya termasuk orang yang tidak setuju dengan bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS.
"Namun, kita harus move on, karena keputusan sudah diambil. Yang harus dikedepankan adalah bagaimana kita membuat langkah strategis bersama BRICS," ujar Yose Rizal.
Menurut dia, kepentingan Indonesia yang bisa diangkat dalam BRICS sepertinya harus di luar aspek perluasan pasar, seperti antara lain bagaimana mendapatkan pembiayaan tambahan untuk membiayai program pembangunan nasional dan memperkuat fondasi aspirasi ASEAN.
Di sisi lain, Yose Rizal menilai, ada permasalahan yang harus dihadapi oleh Indonesia bila melakukan perdagangan dengan negara-negara BRICS.
Sebagian besar negara BRICS, jelas dia, memiliki surplus perdagangan yang cukup besar, seperti Cina, Rusia, dan Arab Saudi). "Bila semua produsen, yang membeli produknya siapa?" ujar Yose Rizal.
Deputi Bidang Kerja Sama Penanaman Modal di Kementerian Investasi dan Hilirisasi BKPM, Tirta Nugraha Mursitama mengungkapkan, sejumlah hal bisa dimanfaatkan Indonesia dengan bergabung di BRICS.
Menurut Tirta, sejumlah peluang kerja sama sangat terbuka, tinggal bagaimana kita bisa mengkapitalisasinya. Tujuan foreign direct investment (FDI) di negara-negara BRICS, jelas Tirta, cendrung mengalami peningkatan.
Menurut Tirta, peluang kerja sama dengan negara-negara BRICS bisa difokuskan pada 15 komoditas seperti antara lain batu bara, minyak mentah, baterai lithium, hingga baterai untuk kendaraan listrik.
Apalagi, jelas dia, pada kunjungan Presiden Prabowo beberapa waktu lalu ke Brasil, telah ditandatangani nota kesepahaman kerja sama perdagangan senilai US$2,8 miliar.
Kerja sama dengan negara-negara BRICS, tambah Tirta, juga bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kapabilitas Indonesia melalui transfer teknologi dari para anggotanya. Sehingga, jelas dia, dapat meningkatkan daya saing nasional terhadap negara-negara di luar BRICS.