JAKARTA - Kapasitas produksi industri petrokimia nasional dinilai belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Menurut data Sistem Informasi Industri Nasional Kementerian Perindustrian (SIINas Kemenperin), sektor produk petrokimia olefin dan turunannya baru mencapai kapasitas produksi 9.732.000 ton, produk aromatik dan turunannya 4.616.400 ton, dan produk C1 dan turunannya sebesar 980.000 ton.
Melihat hal itu, Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin), Faisol Riza mengatakan, peluang investasi baru untuk mensubtitusi produk petrokimia impor masih terbuka. Hal ini juga berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 yang mencatat bahwa total impor produk petrokomia mencapai 4,9 juta ton.
"Peluang investasi baru masih sangat terbuka, terutama untuk mensubstitusi produk petrokimia asal impor," kata Wamen Riza saat memberikan keynote speech dalam kegiatan `Market and Economy Outlook 2025: Supporting Circular Economy and Sustainability`, di Jakarta pada Rabu (5/2/2025).
"Dengan infrastruktur yang berkembang dan permintaan yang terus meningkat, sektor petrokimia Indonesia menjanjikan pertumbuhan yang stabil dan berkelanjutan bagi investor," dia menambahkan.
Wamenperin mengapresiasi PT Lotte Chemical Indonesia yang akan mengoperasikan pabrik naphtha cracker dengan kapasitas olefin 1,65 juta ton per tahun. Dia juga berharap PT Tuban Petrochemical Industries dan PT Kilang Pertamina International (KPI) melalui realisasi investasi Polypropylene (PP) Balongan, TPPI Olefin Project, dan Grassroot Refinery (GRR) Tuban, segera menyusul.
"Hadirnya investasi-investasi baru memberikan harapan bagi industri petrokimia nasional untuk menghasilkan produk-produk substitusi impor dan memperkuat pendalaman struktur pohon industri petrokimia untuk meningkatkan daya saing nasional juga supply chain petrokimia dalam negeri," ujar Wamen Riza.
Menurut Wamen Riza, kemampuan membangun pabrik cracking nafta baru akan membuka peluang untuk meningkatkan kemandirian industri petrokimia nasional.
Selain itu, investasi baru dan pola kerjasama swasta-BUMN di bidang hulu petrokimia sangat dinantikan guna mengantisipasi peningkatan demand hilir produk-produk kimia nasional seperti produk farmasi, tekstil, kosmetik, plastik hingga kimia khusus yang terus berkembang di dalam negeri.
Wamenperin menambahkan, pemerintah menyadari bahwa dalam pengembangan industri petrokimia terdapat tantangan besar, yakni nilai investasi pembangunan pabrik petrokimia yang sangat besar. Karena itu, membutuhkan dukungan insentif yang menarik.
Sumber bahan baku yang mayoritas masih diperoleh dari impor, lanjut Wamen Riza, menjadikan ketersediaan dan keterjangkauan harga bahan baku sangat terpengaruh oleh kondisi geopolitik global.
"Indonesia yang memiliki sumber daya migas yang cukup, harus mampu merubah Comparative Advantages ini menjadi Competitive Advantages , dengan multiplier effect yang tinggi. Salah satu upayanya adalah dengan diterbitkannya Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang memberikan harga gas sebesar USD6/MMBTU bagi tujuh industri. Ketujuh sektor tersebut adalah sektor pupuk, oleokimia, baja, petrokimia, keramik, kaca dan sarung tangan karet," kata Wamen Riza.
Adapun kebijakan HGBT ini telah terbukti memberikan dampak positif, antara lain survival pada masa pandemi Covid-19 lalu, mendorong peningkatan ekonomi, dan memberikan nilai tambah.