JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan kebijakan untuk mengekspansi 20 juta hektar lahan sawit. Hal ini digadang-gadang bakal mendukung kemandirian pangan dan energi di Tanah Air.
Namun alih-alih berjalan menuju arah positf, justru kebijakan ini akan memperburuk krisis sosial dan lingkungan. Tidak hanya itu, ekspansi ini juga akan mempercepat deforestasi, memperparah konflik agrarian, serta mengabaikan hak buruh dan masyarakat adat.
Terlebih adanya pertemuan Presiden Prabowo dengan Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, pada (27/12025) lalu , yang menekankan kerja sama ekonomi, termasuk di sektor kelapa sawit.
TuK INDONESIA dan Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS) melihat bahwa meskipun kedua negara menyoroti investasi dalam ekonomi, energi, dan pertahanan, perhatian terhadap dampak lingkungan dan sosial masih sangat minim.
"Industri kelapa sawit telah lama menjadi simbol ekspansi ekonomi yang merusak alam dan mengabaikan hak-hak masyarakat, dan kerja sama ini berpotensi memperburuk dampaknya," tulisnya dalam siaran persnya dikutip di Jakarta, pada Kamis (6/2/2025).
Pemerintah Indonesia dan Malaysia nampaknya perlu menyadari bahwa tanpa adanya pengawasan yang ketat, ekspansi sawit justru akan memperburuk deforestasi dan mempercepat hilangnya keanekaragaman hayati.
Selain itu, TuK Indonesia dan TPOLS memaparkan, dalam laporan Banking on Biodiversity Collapse 2024 yang disusun oleh Forests & Finance, terungkap bahwa lebih dari 50 bank besar dunia masih memberikan pendanaan yang berisiko terhadap hutan tropis, terutama di Indonesia dan Malaysia, negara yang menjadi dua produsen terbesar kelapa sawit.
Laporan tersebut mencatat bahwa dalam periode 2016 hingga Juni 2024, sebanyak USD 89,17 miliar/Rp 1.289,59 triliun kredit telah disalurkan untuk proyek-proyek yang berisiko tinggi, sebab berhubungan langsung dengan deforestasi, konversi lahan, dan pelanggaran hak masyarakat adat.
Selanjutnya, berdasarkan Laporan Banking on Biodiversity Collapse menunjukkan bahwa sekitar 30 persen dari pendanaan yang mengarah pada kerusakan hutan tropis ini berasal dari lembaga keuangan yang beroperasi di Asia Tenggara, termasuk Malaysia dan Indonesia, yang secara langsung berhubungan dengan ekspansi industri kelapa sawit.
Sementara itu, Linda Rosalina, Direktur TuK Indonesia mengatakan, kerjasama ekonomi Indonesia-Malaysia di bawah pemerintahan Prabowo harus dapat meningkatkan derajat kepentingan Indonesia.
Sebelum pemerintahan Prabowo, Investasi dalam bentuk obligasi dan saham Malaysia di Indonesia khususnya sektor sawit per Juni 2024 sebesar Rp49 triliun atau setara dengan 30 persen dari total investasi sawit di Indonesia.
Pemerintah Indonesia dan Malaysia tidak bisa terus mengabaikan dampak serius dari ekspansi industri sawit, baik terhadap lingkungan maupun masyarakat. Kata Linda, mereka harus bertanggung jawab untuk memastikan bahwa industri ini tidak hanya memenuhi standar pasar global.
"Tetapi juga berfokus pada kesejahteraan petani kecil dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Tanpa adanya pengawasan yang jelas dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan, kerja sama ini hanya akan memperburuk krisis yang sedang dihadapi," kata dia.
Lebih lanjut, Rizal Assalam, Koordinator Jaringan TPOLS menambahkan, ekspansi sawit ini akan turut menambah konflik agraria dan benturan antara buruh dan masyarakat lokal.
Saat ini, sekurangnya konflik lahan yang terjadi di Seruyan yang berujung pada kriminalisasi dan penembakan maupun konflik lahan yang tengah diperjuangkan oleh Forum Petani Plasma Buol belum menghasilkan resolusi.
Ekspansi sawit itu sendiri tidak pernah betul-betul memberikan kesejahteraan bagi buruh yang diupah rendah, maupun masyarakat yang kehilangan lahannya.
"Sudah seharusnya pemerintahan saat ini mengurungkan rencana perluasan 20 juta hektar dan mengikuti dorongan kebijakan global seperti EUDR," kata Rizal.