JAKARTA - Anggota Komisi XII DPR RI Ramson Siagian mengkritisi konsep perdagangan karbon di Indonesia. Pasalnya, ia mengatakan hingga saat ini konsep tersebut masih belum jelas.
Legislator Partai Gerindra itu meminta agar pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) membeberkan data terkait pendapatan negara dari perdagangan karbon tersebut beserta seluruh peta wilayahnya.
Hal tersebut disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XII DPR RI dengan Deputi Pengendalian Perubahan Iklim KLH, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Selasa (25/2).
“Tadi soal perdagangan emisi karbon, itu tolong diberikan contoh-contoh pendapatan yang sudah diperoleh negara, dengan wilayah-wilayahnya di mana. Terus yang kedua itu di APBN masuk ke pos apa itu di penerima negara,” kata Ramson.
Kejelasan data dan wilayah pendapatan hasil perdagangan emisi karbon beserta peta wilayahnya itu diperlukan agar konsepnya lebih jelas alias tidak ngambang.
“Jadi supaya real, karena ini masih pada ngambang ya. Konsep kita belum tahu. Jadi kalau boleh nilai kuantitatifnya langsung diberitahu. Jadi jangan hanya bersifat kualitatif saja. Jadi terus masuknya ke mana, posnya ke mana,” ujar dia.
Selain itu, Ramson juga turut menyoroti terkait kejelasan konsep Teknologi Carbon Capture and Storage (CCS). Menurutnya penerapan pakaet CCS di Indonesia juga masih belum jelas.
“Sudah ada nggak paket CCS di Republik ini? Di mana gitu, artinya skala berapa? Itu perlu juga [diperjelas],” kata dia.
Karena seperti PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) saja, lanjutnya, mereka baru menggunakan CCS untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) pada tahun 2037. Jadi semua masih ngambang alias sebatas retorika.
“Jadi masih lama. Jadi semua masih ngambang kalau bahasa politiknya masih sebatas retorika Karena dia ngomong tahun 2037, 2 tahun lagi dia udah pensiun. Atau diganti. Ya gitu-gitu, kebanyakan begitu Pak [gak jelas],” kata dia.
Hal senada disampaikan Anggota Komisi XII DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Syarif Fasha. Lebih spesifik, Ia mempertanyakan hasil perdagangan karbon di Provinsi Jambi yang mencapai Rp1,15 triliun.
“Tadi kami melihat, bahwa Provinsi Jambi ada kompensasi USD70 juta, berarti ada Rp1,15 triliun. Uangnya ada enggak itu, Pak?,” kata Syarif mempertanyakan alokasi perdagangan karbon di Jambi.
Menurutnya, KLH harus segera melakukan koordinasi dengan seluruh kepala dinas kabupaten, kota, hingga provinsi dalam memetakan dan mengorganisasi perdagangan karbon.
“Saran kami kepada deputi, segera kumpulkan semua kepala dinas kabupaten/kota dan provinsi sebagai koordinator, untuk mengorganisir perdagangan karbon, karena mereka lebih paham,” ujar Syarif.