JAKARTA - Komisi II DPR RI menjadwalkan hadirkan KPU dan Bawaslu Kamis (27/2) besok. Kedua penyelenggara pemilu itu dipanggil buntut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah.
"Besok kita rapat jam 10.00, kira-kira hal apa yang terkait dengan keputusan dari MK dengan adanya pemungutan suara ulang," kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (26/2).
Politikus PDIP itu menjelaskan, dalam rapat nanti, pihaknya akan mengonfirmasi langsung perihal ihwal sengkarut pelaksanaan Pilkada 2024.
"Kita akan tanyakan juga dari respon dari teman-teman KPU Bawaslu yang selama ini sebagai penyelenggara dan Mendagri, faktor-faktor penjelasan dari MK itu rasionalisasi selama pilkada kemarin seperti apa," ucapnya.
Aria Bima menjelaskan, catatan-catatan tersebut menjadi penting sebagai evaluasi pilkada dalam menentukan RUU Pilkada. Mengingat, kata dia, PSU di 24 daerah merupakan jumlah yang cukup besar.
"24 daerah, cukup besar loh itu, cukup besar loh rekor untuk tahun ini. Tapi kita juga harus melihat korelasi dari berbagai survei ya bahwa indeks demokrasi kita yang menurun ya," jelasnya.
Aria Bima bahkan menyebut jika PSU di 24 daerah untuk Pilkada 2024 merupakan terbanyak sepanjang pilkada digelar. Padahal, pelanggaran-pelanggaran administratif seharusnya bisa terdeteksi sejak dini.
"Iya paling banyak (PSU 24 daerah), selain administrasi persyaratan yang dilanggar, yang kenapa KPU Bawaslu tidak dari awal memutuskan adanya saat administratif yang tidak terpenuhi seperti masa periode 2 kali menjabat sebagai kepala daerah yang ada larangan 3 kali misalnya," ujarnya.
"Ini kan dari awal bisa terdeteksi dong, kenapa KPU Bawaslu nya juga tidak mendeteksi dan itu baru dikeputusan MK, sementara kontestasi sudah dilaksanakan," timpal dia.
Sebelumnya, MK membacakan putusan 40 perkara sengketa hasil Pilkada 2024. Hasilnya, MK memerintahkan ada pencoblosan ulang di 24 pilkada.
MK membatalkan hasil Pilkada di 24 daerah karena ada calon yang didiskualifikasi. Mereka didiskualifikasi dengan berbagai alasan, mulai dari tak ngaku sebagai mantan terpidana, tak tamat SMA, hingga sudah menjabat 2 periode.
Kemudian, ada satu perkara yang diputuskan agar dilakukan rekapitulasi ulang dan satu perkara yang diminta untuk perbaikan Keputusan KPU tentang penetapan hasil pilkada. Sementara, 14 gugatan lainnya tidak dikabulkan MK.