Indeks Demokrasi Turun, Pemerintah Diminta Jangan Reaksional Sikapi Hasil Riset EIU

Aliyudin Sofyan | Senin, 10/03/2025 10:19 WIB
Indeks Demokrasi Turun, Pemerintah Diminta Jangan Reaksional Sikapi Hasil Riset EIU Pengamat Komunikasi Politik Frans Immanuel Saragih. Foto: dok atakini

JAKARTA – Pemerintah diminta jangan terlalu reaksional menyikap hasil riset Economics Inteligence Unit (EIU) yang menyebut bahwa indeks demokrasi di Indonesia menurun.

Dari laporan tersebut Indeks Demokrasi Indonesia selama tahun 2024 mengalami penurunan beberapa tingkat dibandingkan penelitian sebelumnya di tahun 2022.

Hal ini menggambarkan bahwa Indonesia berada dalam kategori Flawed Democracy (Demokrasi yang cacat), dengan indeks sekitar 6,44.

Penurunan Indeks Demokrasi ini jelasmenjadi pembicaraan yang cukup hangat di tengah masyarakat khususnya penggiat demokrasi.

Pengamat Komunikasi Politik Frans Immanuel Saragih menyampaikan apa yang dilaporkan oleh EIU tersebut merupakan gambaran bagaimana dunia global memandang perjalanan demokrasi di Indonesia.

“Mungkin beberapa hal dari standar penelitian mereka perlu kita ketahui terlebih dahulu,” kata Frans di Jakarta, Senin (10/3/2025).

Sebagai informasi, Kantor Staf Presiden (KSP) berekasi cukup keras menyikapi laporan EIU tersebut. Bahkan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan stau Presidential Communication Office (PCO) Hasan Nasbi sampai membandingkan posisi Israel yang indeks demokrasinya berada di atas Indonesia.

“Menurut saya, segala laporan Global anggap saja sebagai bahan masukan yang berharga bagi kita, tidak perlu disikapi terlalu reaksional. Yang perlu kita ketahui terlebih dahulu adalah alat ukur yang EIU gunakan, apakah praktik demokrasi dalam negeri saja atau juga kebijakan luar negerinya juga dihitung,” ungkap Frans.

“Memang kondisi yang harus kita hadapi saat ini sangat multi kompleks, sehingga banyak menyedot energi bagi siapapun yang ,” imbuhnya.

Oleh karena, lanjut Frans, pemerintah jangan terlalu cepat bereaksi atas berita berita yang mungkin menyita energi dam memancing reaksi lebih luas.

“Pada zaman Presiden Soeharto dengan segala permasalahan yang dihadapi kita memiliki sosok yang namanya Pak Moerdiono, yang merupakan tempat bertanya para jurnalis, beliau memaparkan dengan sangat pelan dan hati hati, karena menginginkan situasi tetap adem, baik di tatanan dalam negeri maupun luar negeri. Hal baik ini dari pemerintahan sebelumnya perlu dipelajari, seandainya masih relevan mungkin bisa diikuti,” tutur Frans

Seharusnya, kata Frabs, rilis yang disampaikan EIU ditahun 2025 atas pengamatan tahun 2024 itu dijadikan masukan yang berharga. Apalagi ini pemerintahan baru, maka untuk menjawabnya, pemerintahan sekarang membuktikan dengan pelaksanaan demokrasi yang baik di 2025.

“Karena menurut hemat saya tidak semua hal perlu disikapi terlalu cepat, lebih baik kita fokus membangun negara kita dan memenuhi kebutuhan ,asyarakat kita, karena dunia akan melihat apabila kesejahteraan rakyat bertumbuh positif,” ujarnya.

“Itulah yang perlu kita perjuangkan, bagaimana kesejahteraan itu terwujud. Masyarakat yang Sejahtera biasanya sejalan dengan peningkatan kemampuan intelektual masyararakat, karena semuanya tercukupi. Masyarakat yang intelektualnya baik otomatis akan memelihara kehidupan demokrasi yang sehat,” ungkap Frans.