JAKARTA – Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang mengatur tentang produk tembaku berpotensi menjadi penghambat pencapaian pertumbuhan ekonomi 8% seperti yang ditargetkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo. Alasannya, banyak pasal dalam Rancangan Permenkes tersebut yang bisa memematikan industri tembakau.
“Padahal kontribusi industry tembakau terhadap pendapatan negara melalu cukai sebesar Rp216,9 Triliun sepanjang tahun 2024,” kata Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) I Ketut Budhyman Mudhara di Jakarta, Selasa (11/3/2025).
Sumbangsih di atas, menurut Budhyawan, mencerminkan porsi lebih dari 10% dari total penerimaan pajak nasional, yang menjadikan Industri Hasil Tembakau (IHT) sebagai salah satu kontributor utama bagi kas negara.
Budhyawan mengatakan, di tengah situasi ekonomi negara seperti saat ini dan tingkat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sedang tinggi, Rancangan Permenkes yang mengatur tentang hasil tembakau tersebut sangat berbahaya bila diberlakukan.
“Sebagai bagian dari ekosistem pertembakauan, AMTI optimistis dan mendukung capaian program Asta Cita pemerintahan Presiden Prabowo demi mendorong peningkatan ekonomi sebesar 8% guna mendukung kesejahteraan masyarakat secara luas,” katanya.
Namun, lanjut Budhyawan, sampai saat ini, berbagai regulasi yang mengelilingi ekosistem pertembakauan, tekanannya sangat bertubi-tubi. Ini bisa berdampak pada serapan pekerja dan menurunnya produktivtias petani yang menggantungkan kehidupannya pada IHT yang meliputi petani tembakau, petani cengkeh, pekerja manufaktur, pedagang asongan, pedagang pasar, hingga pekerja kreatif.
Budhyawan menegskan, saat ini IHT tengah mengalami berbagai tekanan terutama dari sisi regulasi. Di antaranya polemik implementasi Pengamanan Produk Tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan, dan implementasi Peraturan Daerah untuk Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
“Pasal-pasal di dalam regulasi tersebut eksesif dan mengancam keberlangsungan IHT,” ujarnya.
Budhyman menyayangkan bahwa peraturan yang sedang digodok Kementerian Kesehatan atau Rancangan Permenkes terhadap Produk Tembakau, justru abai terhadap kontribusi ekosistem pertembakauan. Peraturan tersebut dirancang minim keterlibatan dan tidak mengakomodir masukan dari elemen hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan.
“Sebagai inisiator regulasi tersebut, kami sangat menyayangkan Kemenkes yang tidak memikirkan dan mengkaji dampak panjang dari rancangan aturan tersebut,” katanya.
“Apalagi kondisi ekonomi sedang sulit seperti saat ini, PHK marak, pabrikan tutup, dan daya beli masyarakat turun. Apapun peraturan atau kebijakannya, wajib dan tetap mengedepankan prinsip keadilan, transparansi serta melibatkan seluruh pihak terkait,” lanjutnya.
Salah satu rancangan regulasi yang dinilai AMTI bakal mengancam IHT adalah soal pasal yang mengatur penyeragaman kemasan rokok polos.
Aturan tersebut menurut Budhyawan arat dengan pengaruh oleh Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau yang bahkan pemerintah Indonesia belum pernah meratifikasinya.
“Mengapa kita, sebagai negara yang berdaulat, harus berkiblat pada FCTC, yang notabene Indonesia sendiri tidak ikut meratifikasinya? FCTC juga bukan landasan hukum kita. Sehingga mengapa dalam menentukan arah kebijakan pertembakauan yang potensi dan kontribusinya begitu besar, harus berkiblat pada asing?” ujar Budhyman.
Kembali Budhyawan menegaskan bahwa dengan besarnya kontribusi IHT terhadap pemasukan negara, penyerapan tenaga kerja, hingga efek domino di tingkat daerah, pemerintah semestinya membuat regulasi yang adil, berimbang, dan mendorong ekosistem pertembakauan untuk tetap tumbuh dan berkembang di tanah air.
“Target yang menjadi acuan utama dalam kebijakan ekonomi nasional tentu akan sulit terwujud jika salah satunya tidak ada perlindungan dan keberpihakan terhadap IHT,” jelasnya.
“Tembakau bukan sekadar komoditas andalan petani di musim kemarau, melainkan telah menjadi warisan, dan budaya yang melekat dalam masyarakat kita. Sudah seharusnya IHT dilindungi, diberi kesempatan untuk bertumbuh, mandiri dan berdaya saing.,” tambahnya.
IHT perlu didukung pemerintah melalui peraturan yang mendorong keberlanjutan IHT, bukan mematikannya.
“Seluruh pemangku kepentingan di ekosistem ini siap untuk bekerja sama dengan pemerintah dan terlibat aktif berdiskusi dan memberikan masukan dalam penyusunan berbagai peraturan baik di level pusat maupun daerah,” tutup Budhyman.