• Info MPR

HNW Sebut Netanyahu Lebih Layak Ditahan ICC Ketimbang Duterte

Agus Mughni Muttaqin | Kamis, 13/03/2025 22:05 WIB
HNW Sebut Netanyahu Lebih Layak Ditahan ICC Ketimbang Duterte Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid alias HNW (Foto: Humas MPR)

JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengatakan penahanan mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte atas perintah International Criminal Court (ICC/Mahkamah Pidana Internasional) seharusnya bisa jadi momentum untuk menerapkan aturan hukum yang adil dan setara kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan lebih sadis terhadap rakyat Palestina.

“Rodrigo Duterte ditangkap oleh otoritas kepolisian Filipina dan ditahan atas perintah surat penahanan ICC. Dia ditahan karena kasus memerangi narkotika dengan dugaan melakukan kejahatan kemanusiaan ketika menjabat sebagai Presiden Filipina," ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (13/3).

"Yang dia [Rodrigo Duterte] lakukan mungkin masih debatable, tetapi yang dilakukan oleh PM Israel Netanyahu secara kasat mata jelas telah dan masih melakukan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan terhadap warga Palestina, yang ditolak oleh lembaga-lembaga internasional seperti ICC, ICJ, Amnesty Internasional bahkan Sidang Umum PBB. Maka mengikuti prinsip keadilan dan kesetaraan hukum seharusnya Netanyahu juga bisa ditangkap dan ditahan,” sambung HNW.

HNW mengatakan bahwa upaya untuk segera menangkap dan menahan Netanyahu juga lebih urgen, karena Netanyahu masih menjabat dan terus melakukan kejahatan kemanusiaan. Yang terbaru adalah Netanyahu dengan mengingkari gencatan senjata periode kedua yang dimediasi oleh AS, Qatar dan Mesir, malah juga melarang masuknya bantuan kemanusiaan, mematikan listrik dan aliran air ke Gaza yang sudah berlangsung lebih dari 10 hari, sehingga menimbulkan bencana kemanusiaan yang mengarah kepada genosida terhadap 2 jutaan warga Gaza.

“Bila kita bandingkan kasus Duterte dan Netanyahu, maka jelas petanya, Duterte  statusnya sudah tidak lagi menjabat sehingga tidak bisa membuat masalah serupa lagi. Sedangkan, Netanyahu masih menjabat dan ketika tidak segera ditangkap dan ditahan, terbukti semakin banyak lagi kejahatan yang dilakukannya kepada rakyat Gaza/Palestina,” ujar Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Bahkan, kalau ukurannya jumlah korban, maka korban atas kejahatan perang dan kemanusiaan antara Duterte dan Netanyahu juga ibarat bumi dan langit. Duterte dimintai pertanggungjawaban atas pembunuhan terhadap 6.200-an orang (ada data lain yang menyebutkan 1.800an orang) yang diduga terlibat dalam ‘perang’ terhadap narkoba yang dilakukannya. 

Sedangkan, korban kejahatan Netanyahu sejak 7 Oktober 2023 hingga Februari 2025 mencapai 48.189 orang, dengan korban paling banyak adalah warga sipil seperti wanita, anak-anak, selain dokter/tenaga medis dan Wartawan. Belum lagi yang luka, lebih dari 110.000 warga, juga dihancurkannya rumah sakit, Mesjid dan Gereja. Dan bahkan ketika diberlakukan gencatan senjata pada akhir Januari, Israel masih membunuh 137 warga Gaza.

“Bila kita memperhatikan perbandingan jumlah dan jenis korban tersebut, maka sudah selayaknya bila ICC lebih mengupayakan untuk melakukan penahanan terhadap Netanyahu dan kawan,” tukasnya.

HNW berharap agar surat penahanan terhadap Netanyahu yang telah dikeluarkan oleh ICC sejak 21 November 2024 dapat benar-benar dijalankan, dan bukan sekadar sebagai ‘macan kertas’. Meski begitu, HNW juga menyadari bahwa penangkapan terhadap Netanyahu dapat dilakukan oleh otoritas kepolisian di negara-negara anggota ICC (negara anggota Statuta Roma) di mana Netanyahu berada. “Pesan ini harus diutarakan agar masing-masing otoritas kepolisian di negara anggota Statuta Roma itu siap menangkap Netanyahu dan menyerahkan ke ICC, begitu dia melintas di negara tersebut,” ujarnya.

Lebih lanjut, HNW juga memahami bahwa Indonesia memang bukan negara anggota ICC atau belum meratifikasi Statuta Roma sebagai dasar pembentukan ICC. Namun, demi melaksanakan alinea ke 4 Pembukaan UUD NRI 1945, bukan berarti pemerintah Indonesia tidak bisa bertindak agar Netanyahu harus segera ditangkap dan ditahan di ICC.

Ia menyarankan agar pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu), menyampaikan pernyataan bahwa kasus Netanyahu ini menjadi momentum sebagai pengujian efektivitas ICC, sehingga negara-negara yang belum meratifikasi dapat mempertimbangkan ulang untuk meratifikasi di kemudian hari.

“Berdasarkan kasus-kasus yang sudah ada di ICC selama ini, didominasi oleh kasus-kasus di Afrika, sehingga ada anggapan bahwa ada ketimpangan keadilan dan perlakuan terhadap penjahat-penjahat perang dari wilayah lain, terutama dari Barat. Kasus Netanyahu ini bisa menjadi momentum untuk membuktikan bahwa anggapan itu salah. Bila perlu pemerintah Indonesia bisa membuat ‘statement’ siap untuk meratifikasi Statuta Roma, bila memang Netanyahu bisa ditahan dan diadili di ICC,” pungkasnya.