JAKARTA - Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) semakin menunjukkan bahwa TNI bukan tentara rakyat, melainkan tentara politik. Hal ini dapat dilihat dari UU TNI hasil revisi tersebut yang membuka ruang lebar tentara menduduki jabatan sipil.
Itu masih ditambah dengan adanya perubahan mekanisme pengawasan anggaran dan akuntabilitas dan potensi perluasan tugas di luar fungsi pertahanan. Hal-hal tersebut dikhawatirkan membawa TNI kembali ke era Dwifungsi ABRI, di mana militer memiliki peran politik yang besar.
Secara prinsip, reformasi TNI setelah 1998 bertujuan menjadikan TNI profesional, netral dalam politik, dan tidak terlibat dalam urusan sipil.
Namun, jika ada regulasi yang justru memberi ruang lebih besar bagi TNI dalam ranah politik atau birokrasi sipil, maka kekhawatiran bahwa TNI menjadi "tentara politik" bisa saja beralasan. Dan UU TNI hasil revisi tersebut telah melegalisasi TNI menjadi “tentara politik”.
Hal tersebut disampaikan oleh anggota persaudaraan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Asep Nurdin dalam keterangannya, dikutip di Jakarta, pada Kamis (20/3/2025)
“Tidak ada demokrasi dalam tubuh militer, budaya komando di militer yang kuat akan menabrak supremasi sipil. Karena dalam jabatan sipil membutuhkan konsensus dan deliberasi dalam pengambilan keputusan. Sementara dalam milter hanya mengenal perintah komando" ujar Asep.
Apalagi pemerintah di UU TNI hasil revisi menambahkan enam lembaga sipil yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
Setelah sebelumnya dalam Pasal 47 Ayat (1) UU TNI mengatur para prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan di 10 kementerian atau lembaga sipil yaitu Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Kementerian Pertahanan (Kemhan), Sekretariat Militer Presiden (Setmilpres), Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Lembaga Sandi Negara, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Nasional Narkotika (BNN), dan Mahkamah Agung.
"Seakan-akan hanya TNI yang bisa menduduki jabatan itu. Sipil pun juga bisa, kita mesti berhati-hati karena akhirnya nanti semua hal bisa dimasukkan TNI dengan alasan masyarakat sipil enggak mampu." Ujar Asep sembari mempertanyakan urgensinya dari penambahan enam lembaga sipil tersebut.
Asep menambahkan, bahwa UU TNI hasil revisi ini berdampak pada berkurangnya supermasi sipil dalam demokrasi, Meningkatnya politisasi di dalam tubuh TNI, dan yang paling parah adalah besarnya potensi konflik kepentingan antara militer dan pemerintahan sipil.
"Sehingga jelas akan membuat TNI bukan lagi tentara yang netral tapi akan menjadi “tentara politik” dan kita akan kembali pada era gelap demokrasi seperti di era ORBA dimana tentara menjadi pilar kekuasaan" kata Asep.